WARTAWAN PADANG

Hal ihwal tentang Sumatra Barat

Polisi Bukan Densus 88 (saja)


Oleh: Sarlito Wirawan Sarwono

Detasemen Khusus (Densus) 88 adalah suatu unit khusus dalam Polri yang tugasnya adalah memberantas terorisme. Karena itu nama lengkapnya adalah Densus 88/AT (Anti- Teror).

Mungkin masyarakat Indonesia sendiri banyak yang belum pernah mendengar, tetapi nama Densus 88/AT sudah sangat kondang di antero jagat raya, khususnya setelah Polri berhasil membungkam terorisme dan membongkar jaringannya sejak 2005 sampai hari ini (insya Allah untuk seterusnya).

Suatu prestasi yang luar biasa mengingat di banyak negara lain bom-bom bunuh diri masih berletusan hingga hari ini. Begitu hebatnya citra polisi Indonesia sehingga polisi-polisi Negara maju (Selandia Baru,Australia, Inggris, Jepang, Singapura, bahkan Amerika Serikat), yang hendak belajar tentang cara mengorek informasi tanpa kekerasan dari teroris yang sudah tertangkap atau melacak jaringan telepon seluler (ponsel)/internet dari calon teroris yang bertebaran di seluruh Nusantara, datang ke Indonesia, tepatnya ke Semarang (Pusat Pelatihan Anti-Teror). Bukan itu saja. Polri bahkan sudah mengukir reputasi sebagai polisi terbaik di dunia dalam pemberantasan narkotik, pencegahan perdagangan manusia, pengungkapan kasus pembunuhan (terakhir kasus Antasari),dan pembasmian korupsi.

Namun buat masyarakat awam, yang namanya polisi bukan Densus 88/AT, Badan Narkotika Nasional (BNN),atau Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, melainkan pos-pos polisi, polsek-polsek, Kantor Samsat, dsb, yaitu tempat masyarakat melapor jika ada masalah, mengurus SIM atau STNK, minta surat keterangan kelakuan baik, dan lainlain.

Anggota polisi yang datang ke TKP untuk menyidik suatu perkara pembunuhan atau kecelakaan lalu lintas adalah juga yang dijumpai masyarakat sehari-hari. Begitu juga yang mengatur lalu lintas di jalan raya dan menilang pelanggaran.

Jadi bukannya Komandan Densus 88, Kepala BNN, atau Kepala Bareskrim, apalagi Kapolri yang hebat-hebat itu. Padahal 80% dari polisi-polisi yang melayani masyarakat seharihari itu adalah para bintara yang hanya mengenyam pendidikan SMA plus Sekolah Polisi Negara (SPN).

Sebagian kecil di antara mereka dimasukkan ke dalam pendidikan lanjutan seperti pendidikan kejuruan (lalu lintas, reserse, dsb), tetapi sisanya tidak pernah mendapat pendidikan tambahan sampai mereka pensiun. Tidak mengherankan jika pelayanan Polri kepada masyarakat tidak optimal.

Menyadari kelemahan itu, Kapolri Sutanto telah mencanangkan program Pemolisian Masyarakat (Polmas).Program ini berlaku di seluruh Indonesia,dari kota metropolitan sampai ke pelosok, yang intinya menjadikan polisi bukan hanya pelindung masyarakat terhadap kejahatan,tetapi juga menjadi pengayom dan pelayanan masyarakat serta menjadi pendamping masyarakat dalam melindungi dan mengamankan lingkungan masing- masing.

Jauh sebelumnya, Kapolri Kunarto juga pernah meluncurkan program “Senyum, Sapa, Salam”, yaitu agar setiap anggota polisi bersikap ramah kepada masyarakat yang dilayaninya.Adapun pelanjut Sutanto, yaitu Kapolri Bambang Hendarso Danuri, meluncurkan program Quick Response, yaitu polisi yang didukung peralatan komunikasi yang canggih,mampu datang ke tempat kejadian perkara (TKP) dalam waktu 15 menit sesudah menerima laporan.

Semua program Kapolri-Kapolri itu adalah untuk meningkatkan pelayanan Polri kepada masyarakat,tetapi mengapa tetap saja citra masyarakat terhadap pelayanan Polri masih buruk?

Untuk menjawab pertanyaan itu, semestinya diperlukan penelitian.

Namun, secara kasatmata saja, yakni di mata saya yang sudah bergelut dengan dunia pendidikan kepolisian selama lebih dari 20 tahun, rasanya penyebabnya adalah dalam masalah pendidikan, khususnya untuk anggota bawahan yang jumlahnya 80% dari seluruh anggota Polri itu.

Berpuluh-puluh tahun Polri menjadi bagian dari ABRI yang doktrinnya adalah mengalahkan musuh. Doktrin Sapta Marga (ABRI) lebih utama daripada doktrin Tribrata (Polri). Jadi pada masa itu, rakyat harus taat kepada polisi, bukannya polisi yang melayani kehendak masyarakat karena rakyat dianggap sebagai pihak lain yang merupakan sumber masalah dan kewajiban polisi adalah mengatasi masalah itu.

Dalam kasus Marsinah misalnya (yang terjadi belasan tahun yang lalu),polisi mengendapkan masalah itu karena ada perintah atasan (baca: Mabes ABRI) walaupun semua orang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diri Marsinah yang wanita pejuang hak buruh itu (dibunuh dan mayatnya dibuang).

Dalam situasi yang seperti ini,polisi bawahan memang tidak perlu belajar apa-apa selain ikut perintah atasan saja. Namun sejak Reformasi (1999), Polri kembali ke khitahnya. Jadi fungsinya pun dikembalikan ke asalnya, yakni melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Fungsi pelayanan jadi sama pentingnya dengan fungsi perlindungan.

Sayangnya hanya fungsi perlindungan (Densus, Brimob, Sabhara, Labfor, dan sejenisnya) yang ditingkatkan sehingga mencapai reputasi internasional, sementara fungsi pelayanan masih jauh tertinggal (walaupun sudah ada upaya, misalnya dengan Samsat keliling dan quick response).

Untuk meningkatkan fungsi pelayanan ini, pendidikan bintara harus diperbanyak.

Setidaknya sama banyak dengan pendidikan perwira. Dalam Polri, setiap anggota yang berpangkat perwira bisa menikmati berbagai macam pendidikan, mulai dari yang sifatnya kedinasan (Selapa, Sespim, Sespati, aneka Dikjur,dsb), yang campuran antara akademis dan kedinasan (PTIK) maupun yang murni akademik (S-2 Ilmu Kepolisian di UI).

Bahkan biaya pendidikan di luar negeri juga tersedia (Dikjur Lantas di Belanda dan Reserse di Jerman) serta pendidikan akademik di berbagai universitas di dunia. Bahkan jenderal yang juga profesor, lulusan doktor dari Amerika Serikat sudah dipunyai oleh Polri.

Di sisi lain, sebagian besar dari anggota polisi bawahan (bintara) tidak pernah mengenyam pendidikan selepas dari pendidikannya di SPN sampai mereka pensiun. Padahal yang ditemui masyarakat sehari-hari ya para bintara ini, bukan Prof Dr Irjen Pol.Wajarlah jika citra Polri tidak naik-naik di mata masyarakat.

Hal lain yang saya kira sangat perlu dipikirkan dalam pengembangan Polri ke depan adalah membangun setiap polda, polres, bahkan polsek sesuai dengan ciri daerah masing-masing (budaya, geografis, dll). Kapolri Da’i Bachtiar pernah mencanangkan konsep local job for local boys.

Maksudnya, polisi Papua ya direktur dari putra Papua, polisi Maluku ya putra Maluku, Aceh yadari Aceh,Jawa Barat ya anak Sunda, dan seterusnya. Jangan semua polisi berasal dari pulau Jawa saja. Namun gagasan ini tidak terlaksana dengan baik karena terbentur kriteria yang berstandar nasional (banyak putra daerah tidak lulus tes saringan sehingga anak-anak dari Pulau Jawa lagi yang lolos).

Bahkan standardisasi gaya pusat (baca: Jakarta) juga terasa di bidang administrasi kepolisian dan pengadaan perlengkapan. Dalam organisasi Polres luar Jawa yang lebih banyak sungainya daripada jalan raya, masih ada Unit Lantas (padahal mobil hanya beberapa gelintir dan jalan raya hanya beberapa kilometer), sementara Unit Air tidak ada sama sekali.

Di tempat lain, di sebuah pulau di lepas pantai Pulau Jawa, ditemukan anggota polisi dengan perlengkapan sepeda motor dan peralatan antihuru-hara. Polri perlu merancang pembangunannya ke depan berda-sarkan kekhasan daerah. Wilayah metropolitan berbeda dari wilayah perdesaan.

Wilayah berhutan belantara berbeda dari yang berciri kepulauan, beda yang padat penduduk dari yang jarang penduduk, yang mayoritas muslim, dari yang mayoritas nonmuslim, yang wilayah pariwisata dari yang pertanian, dan sebagainya.Semua harus mendapat perhatian khusus dalam merancang pembangunan Polri. Dirgahayu Polri.

Penulis: Ketua Program Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia

Sumber: Harian Seputar Indonesia, Rabu 01 Juli 2009

Mei 16, 2010 Posted by | kamtibmas | , , | 5 Komentar

Marlis-Aristo Sudah Mengerjakan Sementara yang Lain Masih Berpikir


Oleh: Eko Yanche Edrie

Lima kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatra Barat yang menjadi kontestan Pilkada pertengahan tahun ini adalah pasangan yang bukan sembarangan. Kelimanya adalah calon yang hebat, paling tidak semuanya berani memberikan garansi untuk kehebatan mereka jika kelak terpilih jadi gubernur.

Tapi agaknya semua kita sepakat bahwa incumbent adalah posisi yang sangat strategis untuk berlaga memperebutkan hati rakyat. Sudah banyak dibuktikan bahwa incumbent memiliki peluang yang lebih besar dari penantang.

Lalu di mana-mana incumbent menjadi titik fokus dari semua penantang. Pada beberapa praktik politik, incumbent malah dijadikan common enemy atau musuh bersama oleh para penantangnya. Yang penting bagaimana incumbent bisa ditumbangkan.

Dalam hal Pilkada (dengan alasan estetika dan etika bahasa saya lebih suka menulis Pilkada daripada latah menulis Pemilukada versi KPU) Sumatra Barat yang jadi titik fokus percaturan tentu saja pasangan Marlis-Aristo. Marlis, adalah incumbent yang notabene sedang berkuasa dan melanjutkan kepemimpinan dia dengan Gamawan Fauzi sampai periodesasi lima tahun selesai.

Berbagai kelemahan Marlis lalu dicari agar bisa menjadi pintu masuk menggurajaikan dia. Cara itu dari yang halus sampai yang kasar. Tapi sejauh ini belum terlihat adanya komplain dari kubu Marlis-Aristo soal serangan-serangan black-campaign maupun sempritan yang dilakukan oleh KPU dan Panwas. Serangan masih terbatas dilakukan pada jalur-jalur yang bukan mainstream misalnya di internet.

Kembali ke soal posisi incumbent. Pada galibnya, posisi itu adalah posisi bertahan. Dia hanya memerlukan tindakan mempercantik sekaligus memperkuat benteng sambil terus mengasah anak panah dan menghimpun peluru meriam sebanyak-banyaknya.

Posisi seperti itu dilakoni Marlis Rahman. Ibarat orang berjualan, galas Marlis adalah galas yang sudah memiliki pelanggan sedang yang lain baru akan meonyok-onyok kan galasnya kepada calon pelanggan.

Sepanjang lima tahun ini apa-apa yang sebagian besar hendak ditawarkan oleh kandidat lain, sudah dilaksanakan oleh Marlis Rahman. Apalagi dengan ditambah pula oleh setumpuk prestasi calon wakilnya, Aristo Munandar yang dikenal sebagai Bupati sukses sepanjang 10 tahun di Agam.

Apa yang sudah dihasilkan sebagai program pro-rakyat selama lima tahun bersama Gubernur terdahulu Gamawan Fauzi, bagi Marlis-Aristo (yang dikenal dengan akronim MATO) tentu sudah menjadi modal dalam menyusun kelanjutan program tersebut jika Allah mengizinkan Marlis-Aristo menang dalam Pilkada 30 Juni mendatang.

Jadi kalau Marlis-Aristo diberikan amanah oleh rakyat menyusun program lima tahun ke depan, pasangan ini hanya tinggal meng-update RPJM yang ditetapkan lima tahun silam bersama Gamawan Fauzi itu.

Berbagai program pembangunan yang telah disusun dalam RPJM Sumatera Barat 2006-2010, yang bertumpu pada tujuh Agenda Prioritas; bidang ekonomi, sosial budaya, infrastruktur,dan penanggulangan kemiskinan, telah dirasakan hasil dan manfaatnya oleh masyarakat Sumatera Barat. “Kami ingin melanjutkan semua itu bagi Sumatera Barat yang lebih baik di masa depan,” ujar Marlis Rahman seperti dikutip pers pecan dua silam usai bertemu dengan Mendagri Gamawan Fauzi di Jakarta.

Di bidang ekonomi, telah dilakukan pengembangan ekonomi kerakyatan  lewat program peningkatan produksi pertanian dan perkebunan seperti program kakao, kopi dan tanaman padi, registrasi dan pembinaan sekitar 3.000 pedagang kaki lima yang dihimpun ke dalam koperasi dan dibantu modal Rp 300 ribu/orang. Di bidang infrastruktur yang mempunyai implikasi ekonomi dan menunjang ekonomi kerakyatan serta pembukaan lapangan kerja, antara lain pembangunan jalur dua jalan by pass Padang plus fly over Duku yang kontrak kerjanya bernilai Rp 640 milyar telah diteken antara Korea Selatan – Indonesia 11 September 2009 lalu. Kemudian pembangunan jaringan irigasi Panti-Rao yang sebelumnya direncakana akan diresmikan akhir November lalu. Pembangunan bendungan dan irigasi Batang Anai II bernilai Rp 270 milyar yang dimulai tahun ini. Melanjutkan pembangunan Jalan Siti Nurbaya dari Muara melintasi Gunung Padang ke Telukbayur sehingga jembatan Siti Nurbaya yang dibangun sejak Gubernur Hasan Basri Durin bisa berfungsi sebagaimana direncanakan.

Disamping itu ada sejumlah proyek yang perlu dilanjutkan seperti pembangunan Kantor Penghubung/Perwakilan Sumatera Barat yang baru di  Jakarta, pembangunan Masjid Raya Sumatera Barat,  merampungkan pembangunan jalan dan jembatan Kelok Sembilan, sekitar Rp 275 milyar yang ditargetkan rampung Juli 2010. Kemudian merampungkan pembangunan jalan  Ombilin Singkarak – Batusangkar berbiaya Rp 27 milyar, pembangunan Jalan Pantai Padang dan jembatan Purus V melintasi Banjir Kanal, dan pembangunan PLTU 200 MW di Teluk Siriah, Teluk Kabung Padang.

Begitu juga kelanjutan pembangunan jalan Sicincin-Malalak sepanjang 42 km (Rp 220 milyar), pembangunan Jembatan Ngarai Sianok, 500 meter menuju Kota Bukittinggi, melanjutkan pembangunan jalan raya expressway dua jalur dari Duku-Sicincin sepanjang 19 kilometer dengan lebar 34 meter, berbiaya sekitar Rp 200 milyar. Kemudian pembangunan jalan baru Muara Sakai -Lunang lewat perkebunan PT  Incasi Raya selebar 7 meter dan panjang 27 km sebagai kunci pengembangan wilayah Pesisir Selatan.

Rekaman hasil kerja selama lima tahun itu adalah bukti nyata yang akan disampaikan Marlis sebagai incumbent kepada para pemilih. Kandidat-kandidat yang lain tentu saja boleh melanjutkan program tersebut, bahkan mengklaim pula akan ‘memperbaiki’. Tetapi jika itu disebut sebagai hal yang perlu dilanujutkan berarti ada pengakuan bahwa selama lima tahun terakhir sudah berhasil dicetak sejumlah bukti nyata pembangunan oleh Marlis (bersama Gamawan). Logikanya, kalau yang ada ini sudah baik, kan tinggal melanjutkan menjadi lebih baik lagi.

Jadi tidak salah kalau bagi tim pemenangan Malis-Aristo senantiasa diungkapkan bahwa MATO tidak memberikan janji melainkan memberikan bukti. Kalimat yang lebih mengena lagi adalah : MARLIS-ARISTO SUDAH MENGERJAKAN SEMENTARA YANG LAIN MASIH BERPIKIR. Ini hamper mirip dengan motto sebuah perusahaan semen milik negara yang ada di Sumatra Barat.*** (dimuat pada Tabloid DetikNews edisi 3 Mei 2010)

Mei 13, 2010 Posted by | pemerintahan, politik, SUMBAR HARI INI | , , | 3 Komentar

Lima Pasangan Hebat di Bukittinggi


Oleh: Eko Yanche Edrie

Riuh rendah suara pendukung para kandidat Walikota Bukittinggi seperti membikin ramai kota wisata itu. Kota jadi semarak, penuh dengan baliho dan spanduk. Tak hanya baliho dan spanduk kandidat Walikota dan Wakil Walikota, tetapi juga baliho dan spanduk para kandidat Gubernur dan Wakil Gubernur. Kota berpenduduk hampir 100 ribu jiwa itu tahun ini Insya Allah akan berwalikota dan berwakilwalikota baru yang dipilih serentak se Sumatera Barat pada 30 Juni mendatang. Berdasarkan yang mendaftar ke KPU Kota Bukittinggi terdapat lima pasangan Kepala Daerah yang mendaftar untuk dipilih publik dua bulan mendatang itu.

Ke lima pasangan itu adalah H. Ismet Amzis, SH – dr. H. Harma Zaldi, SpB. FinaCs (Partai Demokrat), H. Zulkirwan Rifai (H. Buyung) – H. Baharyadi, SH (PAN, PKS, Hanura dan PKPI), Drs. Nursyamsi Nurlan – Dr. Yalvema Miaz , MA (PPP dan PBB), H. M. Ramlan Nurmatias, SH Dt. Nan Basa – Drs. H. Azwar Risman Taher Dt. Rajo Nan Sati (Golkar dan Gerindra) dan Drs. Darlis Ilyas – Sobirin Rahmat (Koalisi Forlip : PKPB, PPPI, PPRN, PPD, PDS, PDIP, PBR, PSI, PKB, PNI-M, PDP, Pakar Pangan, PMB, PDKB, PPDI, PDK dan Republikan).

Kelima pasangan itu akan berjuang meyakinkan penduduk kota yang akan memilih mereka. Saat ini berdasarkan data yang dimiliki KPU Bukittinggi, tercatat 69.757 orang pemilih dalam DCS (Daftar Pemilih Sementara).  Para pemilih itu akan memilih di 176 TPS, di bawah pengaturan 24 PPS dan 3 PPK.

Menilik dari calon-calon yang sudah mendaftar ternyata bukan tokoh sembarangan. Ismet Amzis adalah Walikota Incumbent yang selama empat tahun terakhir menjadi Wakil Walikota ketika Walikotanya Jufri. H. Zulkirwan Rifai aatau yang dikenal dengan panggilan akrab Haji Buyung adalah tokoh yang pada Pilkada lima tahun lalu menjadi saiangan ketat Jufri-Ismet. Kali ini tentu saja ia akan melakukan berusaha keras membayar kekalahannya lima tahun silam. Bersama Buyung ada Baharyadi birokrat yang selama ini dikenal tak banyak ‘ulah’ di Balaikota Bukittinggi.

Kemudian Nursyamsi Nurlan adalah politisi senior yang lama berkecimpung di Senayan. Ia bahkan didampingi Calon Wakil Walikota, Yalvema Miaz, wartawan senior yang terakhir menjadi Kepala Dinas Pendidikan Kota Bukittinggi. Yalvema tentu saja akan menjadi ‘vote-gater’ bagi pasangan ini mengingat ia cukup dikenal luas di Bukittinggi.

Yang juga tak kalah berpeluang adalah Ramlan Nurmatias,  mantan Ketua KNPI dan KPU Bukittinggi. Percaturan politik di kota Bukittinggi bagi pengusaha optik ini sudah tidak asing. Ia amat hafal sudut-sudut kota yang akan mendukung suara untuknya bersama calon wakilnya Azwar Risman Taher, mantan birokrat dari Agam.

Pasangan berikut adalah Darlis Ilyas – Sobirin Rahmat. Darlis, tokoh yang membikin geger jagad birokrasi Sumbar beberapa tahun yang silam saat ia dimakzulkan oleh DPRD Payakumbuh saat menjadi Walikota di kota Galamai itu. Setelah sempat merapat ke Pemprov Riau, Darlis balik ke Bukittinggi mencoba peruntungan lagi untuk jadi Walikota. Ia mengandeng Sobirin Rahmat, peniaga garmen yang dikenal sukses di Bukittinggi.

Menilik dari kelima calon pasangan ini, sama-sama memiliki kekuatan finansial dan latar belakang kepemerintahan yang memadai. Oleh karena itu sangat sulit untuk mengatakan mana yang lebih hebat dari mereka itu.

Yang jadi soal sebenarnya bukan memastikan mana yang lebih hebat kemampuannya dari kelima calon ini melainkan mana yang lebih bisa menjawab persoalan-persoalan Bukittinggi masa depan.

Sebagai sebuah kota metropolis, Bukittinggi sudah bisa dipastikan sebagai kota kedua setelah Padang. Tetapi sebagai sebuah pusat perputaran uang, Bukittinggi agaknya jauh lebih penting dari Padang. Geliat ekonomi kota itu benar-benar bisa dilihat secara kasat mata. Begitu kita memasuki gerbang kota, sudah terasa adanya aroma uang yang berputar. Tiap rumah pasti memiliki usaha, kalau tidak industri makanan tentu konveksi. Dari segi kemakmuran, Bukittinggi jauh lebih meyakinkan dari Padang.

Kota yang terletak antara 100, 21° – 100, 25° Bujur Timur dan 00,17° – 00,19° lintang selatan dengan ketinggian 909 -941 mdpl beruhu antara 16,1 ° – 24,9° Celcius juga merupakan kota tujuan wisata utama di Sumatra. Terlalu banyak daya tariknya, sehingga sulit mengatakan bahwa turis akan lebih banyak ke Padang daripada ke Bukittinggi.

Dengan demikian para calon Walikota di Bukittinggi hampir bisa dipastikan tinggal berkreasi saja membuat pertumbuhan lebih tinggi lagi. Usaha keras membangun sentra-sentra penghasil uang yang baru mungkin relatif tidak akan terlalu menekan para pemenang Pilkada ini kelak. Walikota pemenang tinggal hanya memperbaiki apa-apa yang sudah ada sekarang dan tidak boleh lari dari core kota itu sebagai kota wisata.

Pelayanan umum terutama untuk para pengunjung menjadi mutlak jadi konsentrasi para pemenang Pilkada. Lapangan parkir yang sulit,  jalanan yang sempit, sumber air bersih yang minim, penataan lanskap kota adalah masalah-masalah Bukittinggi sejak beberapa periode Walikota. Walikota yang sekarang (Jufri-Ismet) juga pernah menjanjikan akan menata kota ini dengan baik dalam visi misinya lima tahun silam.

Keterbatasan lahan dan terlalu terkonsentrasinya perdagangan di Pasar Atas membuat arus kendaraan semuanya menuju ke Pasar Atas yang akhirnya membuat kemacetan dan memusingkan pengunjung. Kalau Bukittinggi akan tetap dikunjungi wisatawan, ini memerlukan perubahan cepat. Kesejalanan program pariwisata antara Pemprov dan Kota Bukittinggi perlu diharmonisasi. Ada kecenderungan untuk mengatakan bahwa dengan dan tanpa promosi, Bukititnggi akan tetap dikunjungi. Ini sesungguhnya pendapat keliru. Keserempakan promosi antara Bukittinggi dengan Provinsi belum terlihat.

Hal lain yang juga perlu kita sangkutkan harapan kepada Walikota pemenang adalah Kebun Binatang (Taman Margasatwa) Bukittinggi. Dulu sudah pernah muncul gagasan untuk memprivatisasi kebun binatang itu, tetapi belakangan tenggelam lagi. Pengelolaan kebun binatang itu saat ini masih berada di bawah Pemko Bukittinggi. Mungkin dengan dilepas ke swasta dalam sebuah kontrak kerjasama, pengelolaannya jadi lebih efisien dan mampu bersaing dengan kebun binatang lain di Asean.

Kita rasa kelima ‘jagoan’ ini sama-sama memiliki visi untuk lebih memajukan industri wisata di kota Bukittinggi lima tahun ke depan. Kelimanya sama berpeluang, tinggal bagaimana mereka meyakinkan penduduk kota untuk memilih mereka.***(Dimuat pada Tabloid DetikNews edisi 26 April 2010)

Mei 13, 2010 Posted by | isu lokal, politik | , , | 5 Komentar

Shadiq Pasadique Butuh Seorang Enterpreneur


Oleh: Eko Yanche Edrie

Apa yang menarik dari pasangan Bupati dan Wakil Bupati Tanah Datar?

Sebuah pertanyaan yang mengusik untuk diajukan lantaran diantara keduanya tidak pernah terbetik kabar adanya silang sengketa dan beda pendapat yang kemudian mencuat ke permukaan. Namanya saja semeja makan, tentu  tak mungkin gelas dan piring tak kan bersentuhan dan berlaga. Namun antara seorang Shadiq Pasadigue seorang sarjana peternakan dengan seorang Aulizul Syuib seorang tamatan sekolah pamong selama lima tahun terakhir ini terlihat akur-akur saja.

Yang jelas tidak pernah ada kabar yang pecah bahwa keduanya mengalami keretakan atau pecah kongsi. Jangankan pecah kongsi, basiarak ketek saja tidak pernah terdengar. Entah kalau dalam ruang tertutup keduanya lalu saling memaki, itu hanya mereka berdua dan Allah saja yang tahu.

Yang lahir menunjukkan yang batin, begitu generasi terdahulu membuat ibarat. Apa yang diperlihatkan ke permukaan oleh Shadiq dan Aulizul selama lima tahun ini menunjukkan apa sesungguhnya yang terbuhul dalam hati keduanya.

Lima tahun kemesraan itu diunjukkan bagi kemajuan Luhak Nan Tuo. Maka publik pun jadi terharu ketika Shadiq dan Aulizul berangkulan dengan amat erat di teras kantor KPU Tanah Datar pada hari Kamis 8 April lalu, saat Shadiq bersama Hendri Arnis mendaftar menjadi calon bupati dan wakil bupati.

Banyak diberitakan bahwa bukan lantaran keduanya pecah kongsi maka posisi Aulizil digantikan oleh Hendri. Tetapi memang Aulizul yang ingin beristirahat dari pekerjaan birokrasi. Ia berkali-kali mengatakan hendak berbaur kembali dengan masyarakat. Ia memang dikenal sebagai orang yang suka bergaul. Tak hanya di Batusangkar atau di Lintau di kampungnya, tetapi juga di Padang Panjang dan di Sawahluntuk atau di Solok tempat dimana Aulizul ‘Cun’ Syuib pernah bertugas. Di Padang Panjang saat menjadi Camat Padang Panjang Barat, rumahnya bahkan menjadi ‘tempat kost’ bagi pegawai-pegawai muda. Tiap malam ada saja yang menginap di rumahnya. Di meja-1 Gumarang, tempat yang senantiasa menjadi pusat informasi tokoh informal Padang Panjang adalah tempat Aulizul sering mangkal.

Maka, keputusan atau pilihan seperti itu tentu tak bisa pula ditahan oleh Shadiq. Buktinya, hingga beberapa waktu menjelang injury time, barulah Shadiq memutuskan dengan siapa ia hendak berpasangan. Ia memilih pilihan yang disodorkan Golkar, H. Hendri Arnis, anak muda jebolan Universitas Honolulu di Hawaii AS.

Sejumlah calon wakil sudah mengemuka sejak enam bulan lalu. Yang paling santer terdengar adalah Ir. Wenno Aulia, putra mantan Menteri Pertanahan Hasan Basri Durin. Tetapi namanya politik maka loby dan negosiasi tak terhindarkan. Maka pilihan Golkar jatuh pada Shadiq-Hendri.

Posisi incumbent adalah posisi yang sedikit sekali kemungkinan akan kehilangan dukungan. Memang ada juga incumbent yang takluk kepada penantangnya, tetapi itu tidak banyak. Faktor-faktor yang berkaitan dengan masalah hukum dan moral biasanya yang membuat incumbent kalah.

Dan menilik kepada Shadiq Pasadigue, rekam jejak yang sudah dibuatnya dalam lima tahun bahkan jauh sebelum itu (lima tahun di masa Masriadi, Shadiq juga sudah membangun basis-basis pendukung dan mambangun jembatan hati dengan masyarakat Tanah Datar) Shadiq sudah ada di hati masyarakatnya.

Oleh karena itu pula tidak berlebihan kalau sebuah account di jejaring sosial Facebook di internet  diberi title “Jangan Pergi Dulu Pak Shadiq”. Account itu menunjukkan bahwa Shadiq masih sangat diinginkan untuk tetap bertahan sebagai Bupati Tanah Datar periode lima tahun ke depan. Meskipun tiga bulan lalu masih santer terdengar bahwa Shadiq akan menjadi Calon Wakil Gubernur Sumbar.

Shadiq mengakui adanya tawaran untuk bergabung dengan kandidat Gubernur untuk maju bersama dimana ia menjadi Wagubnya. Dan tawaran itu, lama baru dijawab oleh Shadiq. Publik masih bertanya-tanya dan penasaran. Sampai ada account deperti di atas di Facebook.

Tiga bulan lalu Shadiq memberi jawaban pasti, bahwa ia lebih memilih untuk maju lagi jadi Cabup Tanah Datar ketimbang maju jadi Cawagub Sumbar. “Terimakasih, terimakasih saya ucapkan kepada pihak-pihak yang sudah memberi tawaran kepada saya untuk bersedia menjadi Cawagub. Tapi sementara ini izinkanlah saya berbakti dulu untuk Tanah Datar, biarlah Cawagub lain saja yang maju pada Pilkada kali ini,” kata Shadiq kepada saya satu ketika dalam percakapan telepon.

Kembali ke rekam jejak. Selang lima tahun terakhir ini Shadiq telah membukukan berbagai kemajuan untuk Kabupaten berpenduduk sekitar 245 ribu jiwa itu. Saya tidak ingin membuat tabulasi penghargaan yang diperoleh, sebab terlalu banyak penghargaan sejenis yang juga dimiliki daerah lain sehingga tidak lagi menjadi hal yang eksklusif.  Tetapi baiknya kita melihat pada capai-capaian dari kinerja Pemerintah Kabupaten Tanah Datar selama lima tahun terakhir. Ini misalnya dapat dilihat dari PDRB (Pedapatan Domestik Regional Bruto) yang pada 2005 hanya Rp.2.866.850.000.000,- (berdasarkan harga berlaku) setelah lima tahun meningkat menjadi Rp.4.725.970.000.000,- dengan rata-rata  peningkatan 13 persen pertahun.

Shadiq bersama Aulizul telah meletakkan dasar-dasar pembangunan yang kukuh untuk dilanjutkan lima tahun mendatang. Pada lima tahun terdahulu Pemkab Tanah Datar mengusung pembangunan dengan memberi tekanan kepada tujuh agenda pokok sebagai sasaran.

Ketujuh agenda itu adalah meningkatkan iman dan taqwa, moral dan akhlak, meningkatkan kualitas dan pemerataan pendidkkan, meningkatkan mutu dan pelayanan kesehatan dan kesejahteraan sosial, memacu pertumbuhan dan pemerataan pembangunan, meningkatkan aksesibilitas melalui pengembangan prasarana dan sarana wilayah, mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat dan penegakan hukum, serta melaksanakan tata pemerintahan yang baik.

Kalau tidak disebut berhasil seratus persen, tentu lebih dari tiga perempat bagian dari sasaran tujuh agenda itu telah tercapai. Tak usah ditabulasi lagi capai-capaian itu, sudah bersuluh mata hari bergelanggang rang banyak.

Tinggal sekarang, bagaimana perimbangan pembangunan antara Barat dan Timur makin mantap dengan adanya Wakil Bupati yang berlatar ‘orang dari barat’ atau wilayah Batipuh dan X Koto.  Hendri Arnis adalah putra Paninjauan X Koto. Selama ini belum pernah ada Wakil Bupati dari Barat. Apalagi latar belakang seorang enterpreneur yang dimiliki Hendri, akan menjadi modal untuk lebih menggenjot pembangunan ekonomi Luhak Nan Tuo.

Tapi semuanya, terpulang pada massa pemilih, rakyat sudah rasional cara berpikirnya.***(dimuat pada Tabloid DetikNews edisi 19 April 2010)

Mei 13, 2010 Posted by | ekonomi, isu lokal, politik | , , , | 1 Komentar

Obituari Asbon: Memuji di Belakang


Oleh: Eko Yanche Edrie

Minangkabau bersajak? Istilah itu berkali-kali bergumam di mulut Asbon Budinan Haza tiga tahun lalu saat hendak memperingati 70 Tahun penyarir Papa Rusli Marzuki Saria. Itu tawaran tag line dari saya untuk acara ‘tribute for papa’. “Bung, itu masa lalu, sudah lewat. Sekarang negeri ini makin sepi dari sajak dan puisi. Orang lebih suka tulis SMS daripada menulis sajak, apalagi membaca dan mendeklamasikannya,” kata Asbon membantah tawaran saya. Saya memang tidak termasuk dalam daftar jagad seniman Sumatra Barat, tetapi saya suka dengan dunia seputar Taman Budaya tersebut.

Nah lagi-lagi Asbon mengingatkan saya, bahwa seniman tidak melulu harus berproduksi atau berkarya. Menghidupkan dan memperhatikan sampai membela dunia berkesenian adalah kewajiban seniman juga. Karena itu ia memilih Fachrul Rasyid HF, wartawan senior yang dalam keseharian tidak berada dalam pusaran kaum seniman untuk ikut membacakan sajak pada 70 Tahun RMS di teater utama Taman Budaya Padang itu. Menurut Asbon, Fachrul memiliki pilihan kalimat judul tiap tulisannya yang senantiasa bersajak. Dan Asbon tahu di masa mudanya, penulis buku “Refleksi Sejarah Minangkabau dari Pagaruyung Sampai Semenanjung” itu (pada puncak peringatan HPN lalu mendapat penghargaan dari PWI Pusat) adalah juga penyair. Penghargaannya kepada Chairul Harun ditunjukkan pula dengan menggelar peringatan 10 tahun Wafatnya CH di Kayutanam.

Mencari pilihan yang berbeda dan selalu ingin dicatat sebagai inovasi adalah bagian dari banyak lakon yang dijalanan Asbon Budinan Haza. Menjadi deklamator terbaik lalu menjadi dramawan bersama rombongan Teater Bumi nya Pak Wisran Hadi pernah dilaluinya. Lalu menjadi guru bahasa di SMA Pembangunan Bukittinggi. Itu menunjukkan bahwa Asbon adalah lelaki yang senantiasa gelisah tak senang diam. Meskipun untuk itu ia sering berbantahan dengan saya ketika ia saya cap sebagai orang yang tidak sabar dan tabah. Sudah jadi redaktur halaman Budaya di Harian Semangat di bawah pimpinan Makmur Hendrik, tapi ia malam memilih keluar dan mendirikan majalah anak-anak ‘Saya Anak Indonesia (SAI)’ walaupun ia tahu waktu itu (1988) menerbitkan media perlu SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers) dari Deppen. Mengurus SIUPP hampir sama dengan meminta tanduk ke kuda. Tapi Asbon nekat, SAI diterbitkan dengan izin khusus, bayangkan oplagnya sampai 14.000 eksemplar. Finansial Asbon jadi sehat.

Tapi itulah Asbon, senantiasa gelisah. Begitu SAI sukses, ia memikirkan yang lain. Akhirnya SAI tertinggal dan tidak terbit lagi. H. Basril Djabar sangat paham dengan lompatan-lompatan pikiran Asbon. Maka ia tawarkan untuk mengelola Koran Masuk Sekolah (KMS); Asbon menyambutnya. KMS berubah 180 derajat penampilannya di tangan Asbon. Tapi lagi-lagi sifat gelisahnya muncul. Ia mundur setelah dua tahun. Menjelang bernagkat ke Jakarta meninggalkan KMS, Asbon mengajak main scrabble untuk terakhir kalinya di lantai I gedung Singgalang. Kami main berempat dengan Hasril Chaniago dan Gusfen Khairul. Setelah itu Asbon mengorbit di Jakarta. Ia membuka rumah makan. Lalu mendirikan Ikatan Warung Padang Indonesia (Iwapin) dan menjadi Presiden nya. Tak kurang dari 2000 warung padang yang jadi anggotanya.

Hingga tahun 2002 ia bermukim di ibukota. Komunikasi saya dan Asbon hanya berkontaktelepon saja.

Pengujung 2003 ia muncul lagi di Padang. Dan mengajak saya membentuk Perhimpunan Seniman Indonesia (Persindo) bersama Emeraldi Chatra, Free Hearty, Hermawan, Fuady Cairo, Asraferi Sabri dan beberapa nama lainnya. Saya sudah menyatakan kepada Asbon bahwa saya tidak tercatat sebagai seniman meskipun saya menulis beberapa novel di Harian Haluan dan Harian Singgalang serta sejumlah cerpen. Tapi Asbon melarang saya membantah. Sudahlah, saya digabungkan dalam Persindo itu.

Beberapa kali terdapat beda pendapat dengan para seniman dan budayawan. Saya tahu Asbon tak sepandangan dengan Darman Moenir, Wisran Hadi atau pun Haris Effendi Tahar. Tapi ketika kami berdua saja terlibat diskusi, eh, malah Asbon memuji-muji Darman dan Wisran. Jujur saja, saya sudah lama sekali tidak membaca novel ‘Bako’ tetapi rupanya Asbon mengoleksinya dan sangat hafal plotnya. “Kalau bisa makin banyak novelis yang mengangkat tema-tema etnik seperti pada ‘Bako’ itu,” kata dia memuji novel tersebut. Tentu saja sekaligus berarti memuji penulisnya. Dengan tulus dikatakannya bahwa membawa tema etnis itu bisa dilakukan penerus Darman misalnya oleh Khairul Jasmi atau Alwi Karmena.

Menurut Asbon KJ dan Alwi memiliki talenta untuk mengangkat tema-tema etnis dalam tulisannya. Lalu selepas puasa dua tahun silam ia diilhami oleh WS Rendra untuk meregenerasi dunia teater. “Tak banyak yang bisa mencetak dramawan di Padang ini kecuali Wisran Hadi,” ujarnya. Asbon lalu menyatakan dia banyak mendapat pengajaran ketika bergabung di Teater Bumi bersama Wisran.

Lelah sebenarnya kita mengikuti langkah-langkah Asbon. Bahkan kadang hal-hal yang tidak rasional dia tempuh. Misalnya ia tak peduli dengan kesehatannya ketika dalam satu malam pergantian tahun ia ingin diperingati dengan berkesenian di lereng Merapi, di nagari Lasi. Sejak itu kondisi kesehatannya agak terganggu.

Desakan-desakan dan ledakan-ledakan mimpinyalah yang membuatnya bisa lebih lama bertahan dengan jantung yang mengalami penyumbatan. Semengatnya selalu menggebu jika merencanakan sesuatu yang besar meski tidak terdukung oleh finansial sekalipun. Mimpinya yang terakhir adalah menerbitkan sebuah koran harian untuk masyarakat sosialis. Ini bagian dari pengejawantahan kekagumannya pada almarhum St. Sjahrir.

Mimpi-mimpi Asbon sering dianggap edan oleh orang lain tetapi sesungguhnya ia berangkat memulai mimpinya dari basis sosial. Sejak pukul 6.30 WIB kemarin, kita tidak akan mendengar cerita mimpinya Asbon. Setelah lebih sebulan mengalami gagal jantung dan gagal ginjal, Asbon menyerah, Yang Maha Pencipta menjemputnya.

Saya tidak percaya mulanya ketika Mohammad Ibrahim Ilyas (Bram) mengabari saya bahwa Asbon wafat. Beberapa hari lalu bahkan Gubernur Marlis Rahman bersama Kepala Biro Pemerintahan Fachril Murad masih menjenguknya di RSUP M Djamil. Kata Lona –anak Asbon—ayahnya mulai membaik.

Maka kemarin siang saya katakan kepada Bram, bahwa Asbon tidak pergi. Ia hanya pulang kembali dari satu perjalanan. Selamat Pulang Kembali, Bung!

(Dimuat pada Harian Singgalang, Edisi 13 April 2010)

Mei 13, 2010 Posted by | Budaya, Obituari | , , , | Tinggalkan komentar

Cara DARC: Makan Sepuasnya, Bayar Sesukanya


Oleh: Eko Yanche Edrie

Mana ada ceritanya di dunia ini kita makan sekenyang-kenyangnya sampai sangiah lalu ditutup pula dengan sereguk kopi atau jus sambil menghirup asap rokok bercandu tinggi tapi semuanya dibayar dengan suka-suka. Apalagi menunya adalah nasi padang.

Kalau perkara makan gratis sih banyak. Tapi makan dengan tarif ditentukan oleh siapa yang makan maka itu ceritanya kalau tidak dalam sinetron bergenre fiksi pastilah hanya ada di kawasan Sah Alam Selangor Darul Ehsan Malaysia.

Nama tempatnya secara resmi ditulis Denai Alam Ridding Club (DARC). Sebuah kawasan di luar Kuala Lumpur. Ini adalah kawasan wisata dengan mengedepankan olahraga berkuda sebagai intinya. Untuk bisa mendatangi tempat itu kita mesti jadi member dulu. Semua orang bisa mendaftar jadi member setelah membayar  tunai sebesar RM180 atau sekitar Rp600 ribu per tahun. Itupun untuk satu keluarga. Setelah mendaftar, kita boleh berkuda sepuasnya sampai penat. “Boleh tiap hari, seminggu sekali atau terserah kapan maunya,” kata Iwan Marzie Thamrin, salah seorang yang ikut bekerja di situ mengelola DARC. Iwan adalah putra mendiang Marzie Thamrin, wartawan Singgalang di Pariaman. Ia sudah hamper sepuluh tahun berada di situ.

Tapi yang menarik bukan berkudanya. Melainkan makannya. Di samping ranch dibangun sebuah restoran terbuka dengan hanya mengandalkan tenda besar sebagai penyungkupnya. Cuaca yang lembab di bagian barat tanah semenanjung itu terpaksa dilawan dengan mengerahkan empat fan besar  yang menghasilkan hembusan angin bercampur embun buatan.

Di bawah tenda itulah pengunjung, baik member yang selesai berkuda maupun pengunjung umum bersantap. Menu masakan yang dipilih oleh pengelolanya adalah menu masakan Minang atau nasi padang. Tak tanggung-tanggung, pengelola DARC mendatangkan juru masak (chef) dari salah satu restoran Padang yang terkenal di Jakarta.

“Nasi padang atau masakan Minang sengaja kami pilih karena ini adalah menu yang paling bisa cocok untuk semua etnis dan semua lidah. Hampir tak ada orang tak suka dengan nasi padang,” kata Terry Teo, Deputy President DARC ketika menjamu serombongan pemimpin media Sumatra Barat belum lama ini di Shah Alam.

Terry dengan bangga menceritakan perihal restorannya itu dan dengan bangga pula mempromosikan tiap lauk yang ada di situ. “Ini tunjang, rasanya sangat empuk. Ini gulai otak, memang berkolesterol tapi banyak yang suka,” ujarnya seraya menyorongkan gulai otak itu kepada budayawan Alwi Karmena. Alwi langsung menerima kehormatan itu dan memicingkan matanya untuk memperlihatkan mimik seorang yang sedang menikmati makanan enak. “Dimana tekadirlah,” kata Alwi menggunakan bahasa Minang yang diindonesiakan menurut versi dia. Untung H. Basril Djabar tak ikut menyemba gulai yang sudah tidak boleh didipinya itu. “Uda nan iko se lah,” ujar Da Bas kepada Hasril Chaniago yang duduk dekatnya sambil menyenduk sayur bayam segar.

Cerita kunyah-kenyoh itu tak akan habis-habisnya diceritakan. Tetapi yang justru makin menarik bagi para anggota rombongan muhibah media Sumbar itu adalah sistem pembayaran yang berlaku di restoran DARC itu. Usai makan, ketika Basril Basyar, Ketua PWI Sumbar yang ditunjuk menjadi ‘kasir kafilah’ ini hendak membayar dan meminta pelayan menghitung, Terry Teo sang Deputy President DARC langsung angkat tangan. “Tak ada tarifnya, semua yang makan di sini membayar menurut kata hatinya saja, sila ke kassa,” kata dia.

Rombongan pun menuju kassa. Tapi tak ada petugas di situ. Yang ada hanya kotak kaca seperti yang ada di mesjid-mesjid, lalu ada sebuah buku kuitansi dan ballpoint tergeletak di meja kassa.

Rupanya memang demikian aturannya, kita yang makan yang menentukan berapa kita ‘sanggup’ membayar makanan yang sudah tandas (kata yang di sini lain lagi artinya) itu. Berapa kesanggupan kita membayar itu pun dimasukkan ke dalam kotak. Setelah itu tulis di kuitansi yang sudah dicetak khusus. Pesan dikuitansi itu adalah, bahwa kita sudah menyerahkan sejumlah uang untuk diteruskan kepada anak yatim. Begitu saja. Selesai.

Demikianlah DARC, yang sebenarnya dimiliki oleh sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang relestat dan ritel dengan sejumlah supermarket memperuntukkan restoran dan klub berkuda itu untuk keperluan program charity mereka. Hasil dari DARC itu dibagikan kepada anak yatim secara periodik. “Ini cara kami untuk memberikan perhatian kepada anak-anak yatim yang hidupnya belum beruntung,” kata Terry. Ia mengulas dengan bahasa yang sederhana: berkuda murah sambil beramal. Sebab siapa pula yang akan berkata bahwa dengan Rp600 ribu setahun per satu keluarga sebagai iyuran yang mahal?

Tiap akhir pekan pengunjungnya banyak sekali. Para penduduk Kuala Lumpur dari kelas menengah banyak menghabiskan akhir pekannya di sini. Banyak juga yang datang dari Singapura dan Thailand.

Nah, siapa yang mau buka cara Selangor ini untuk beramal di sini?*** (dimuat pada Harian Singgalang edisi 13 April 2010)

Mei 13, 2010 Posted by | Budaya, melayu | , , , | Tinggalkan komentar

Kemiskinan Mempertemukan Marlis-Aristo


Oleh: Eko Yanche Edrie

Kemiskinan ternyata adalah kata kunci yang mempertemukan jalan pikiran Marlis Rahman dengan Aristo Munandar. Dalam lima tahun terakhir ini Marlis Rahman adalah Koordinator dari Program Penanggulangan Kemiskinan Provinsi. Dimana kemudian lahir gagasan Kredit Mikro Nagari (KMN) yang inti pokok programnya memberdayakan masyarakat dengan modal yang tak terjangkau perbankan. Tiap nagari diserahi otorisasi untuk mengelola Rp300 juta yang boleh digulir dan digilir dengan pola sesuai nagari masing-masing.

KMN yang sangat bersifat lokal itu lalu diterjemahkan oleh Bupati Agam Aristo Munandar dengan mengawinkan KMN dan BMT. Dengan tetap mengedepankan prinsip memperteguh sikap bernagari, beradat dan beragama, maka dana KMN yang Rp300 juta dari Provinsi itu dikelola oleh Baitulmaal Watamwil (BMT) di seluruh nagari yang ada dalam Kabupaten Agam. Sedang di Kabupaten/Kota lain punya pola sendiri pula.

Hasilnya, sejak 2007 perkawinan program yang dikoordinasikan oleh Marlis Rahman di tingkat provinsi dan diejawantahkan di Kabupaten/Kota menurut kultur masing-masing nagarinya telah mampu membangkitkan ekonomi rakyat kecil menjadi lebih berdaya.

Apa alasan lain melahirkan KMN? Menurut Marlis Rahman program Penanggulangan Kemiskinan yang dilakukan berbagai departemen, untuk tingkat daerah perlu lebih dipercepat lagi gerakannya. Salah satu yang belum tersentuh program-program nasional adalah intervensi modal usaha bagi masyarakat miskin yang bisa lebih mempercepat lagi kebangkitan mereka dari garis kemiskinan dan kemudian diharapkan mampu berdiri sendiri.Intinya, program ini adalah untuk memberikan stimulus modal usaha bagi masyarakat di nagari-nagari agar mereka cepat keluar dari garis kemiskinan. Stimulus itu adalah dalam bentuk apa yang kemudian dikenal sebagai Kredit Mikro Nagari (KMN)

Dengan Kredit Mikro Nagari ini masyarakat yang tadinya sudah ‘mulai bangkit’ dapat lebih diberdayakan lagi dengan memupuk usaha-usaha mereka sendiri. Di nagari-nagari, penduduk miskin tidak seluruhnya miskin karena tidak punya usaha, tetapi banyak pula yang miskin karena mereka tidak punya modal. Mereka hanya butuh modal kecil yang tak lebih dari Rp1 juta untuk usahanya. Di nagari yang memiliki pasar tradisional, bertebaran para pemberi modal rentenir yang amat mencekik. KMN, justru salah satu ditujukan untuk menjauhkan masyarakat miskin itu dari lilitan utang pada rentenir  (Melawan Kemiskinan dari Nagari, Bambang Istijono dkk, Bappeda Sumbar 2009)

Dengan proyeksi Rp300 juta setiap nagari, maka ada harapan selain mengasah semangat enterpreneur masyarakat juga untuk mendidik masyarakat mengelola keuangan nagari secara lebih profesional.

Pola KMN yang menggulir dan menggilir penyaluran dana bantuan kepada masyarakat miskin maka citra buruk tentang dana bergulir adalah ‘dana habis dan hibah’ seperti yang selama ini melekat di nagari-nagari mulai diperbaiki. Caranya, adalah dengan melibatkan sebanyak mungkin fungsi-fungsi sosial yang ada di nagari tersebut yang terdiri dari ninik mamak, alim ulama, cadiak pandai, bundo kanduang, pemuda sampai ke mamak kepala waris. Semua melakukan pengawasan agar dana yang disalurkan tetap bergulir dan bergilir kepada penerima berikutnya.

“Di Agam, tiap kali KMN akan disalurkan oleh BMT harus dilakukan pada ba’da Ashar di mesjid. Yang menerima kredit harus shalat berjamaah dulu. Jadi sekaligus kita mengajak masyarakat untuk senantiasa dekat dengan mesjid,” ujar Aristo Munandar tahun lalu kepada saya tatkala menyiapkan buku ‘Melawan Kemiskinan dari Nagari

Penyaluran KMN benar-benar dengan menggunakan data kemiskinan yang sudah valid. Di situlah gunanya penyamaan (verifikasi) data kemiskinan yang sudah by name by addres tersebut. Dengan mengacu data itu akan terlihat siapa-siapa yang berhak menerima dana bergulir dan untuk yang bergilir juga sudah jelas dari data itu juga.

Gagasan Kredit Mikro Nagari ini kemudian ternyata menghasilkan pembelajaran yang bagus untuk menyatupadukan pemikiran-pemikiran di tingkat provinsi dengan kabupaten/kota. Sebab sebelum ini dicanangkan pada pertengahan tahun 2007 yang silam, sudah diancang-ancang akan didahului dengan membuat komitmen bersama antara Gubernur dengan para Bupati/Walikota. Kesediaan pemerintah provinsi untuk mengalokasikan dana Rp300 juta untuk nagari-nagari yang terpilih harus diikuti dengan kesediaan pemerintah kabupaten/kota mengalokasikan dana sebesar Rp300 juta untuk nagari-nagari yang terpilih. Artinya jika pemerintah provinsi pada tahun 2007 menyediakan dana sebesar Rp300 juta x 100 nagari dibagi ke 19 kabupetan/kota, maka masing-masing kabupaten/kota juga mesti bersedia mengalokasikan 300 juta x jumlah nagari di daerahnya yang mendapat kucuran KMN provinsi itu.

Walhasil pembelajaran yang diperoleh di situ adalah makin bisa diperbaiki hubungan provinsi dan kabupaten/kota yang dikhawatirkan mendingin terbawa dampak eforia otonomi daerah. Satu koordinasi yang baik bisa dilahirkan dari penanganan Kredit Mikro Nagari secara bersama-sama ini. Itu juga salah satu yang menjadi point penambah nilai bagi Sumatera Barat yang pada tahun 2009 ini mendapat posisi keempat terbaik dalam pelaksanaan otonomi daerah versi Majalah Otonomi.

Dengan gagasan-gagasan seperti itu, sejak dilaksanakan pada 2007, pemerintah provinsi sudah mengucurkan Kredit Mikro Nagari itu sebesar Rp300 juta x 100 nagari (2007) dan Rp300 juta x 84 nagari (2008) Jumlah ini, sesuai dengan komitmen para Bupati/Walikota dengan Gubernur ditambah alokasi APBD Kabupaten/Kota sebanyak yang disediakan Pemprov Sumbar.

“Saya senang, setiap kali datang ke Sumatera Barat selalu ada sesuatu yang baru,” pengakuan tulus dari Presiden SBY merespon program antikemiskinan ini. Presiden mengatakan bahwa bicara tentang orang miskin sangat tidak menyenangkan sekali. Jika bicara tidak didengar, bila berkumpul selalu berada di pojok. Saya secara pribadi merasakan itu, karena saya memang dibesarkan dari keluarga miskin,” kata Presiden SBY (situs www.presidensby.info – edisi 21 September 2007)

Dalam pidatonya di Parik Malintang Kabupaten Padang Pariaman, Presiden Yudhoyono mengatakan, untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia yang sudah mencapai angka 39 juta (17,07 persen) dari 220 juta jiwa penduduk Indonesia, pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp52 triliun.

Presiden SBY sangat senang, orang Sumatera Barat sudah memikirkan cara-cara untuk mengentaskan kemiskinan ini secara lebih strategik dan sistematis. Ia sangat meyakini bahwa pola tungku tigo sajarangan (ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai) adalah triumvirat yang sangat melembaga di nagari-nagari.

Ini sangat khas Minangkabau. Jika ada anak kemenakan yang terlantar, maka yang akan malu adalah ninik mamak dan kaumnya. Dengan demikian semua akan terdorong untuk mempersamakan agar yang miskin bisa dapat hidup layak dalam kaum itu. Dan program tentu tidak boleh putus begitu saja sampai masyarakat di nagari-nagari benar-benar bisa berdaya secara ekonomi. Koordinasi yang dilakukan Marlis Rahman selama ini tentu mejadi makin layak dilanjutkan oleh Aristo. Sebab tugas sebagai Ketua Tim Koordinasi Program Penanggulangan Kemiskinan secara ex officio diemban oleh Wakil Gubernur. Sekarang, tinggal pada rakyat saja: dilanjutkan atau tidak? (dimuat pada Tabloid DetikNews edisi 12 April 2010)

Mei 13, 2010 Posted by | ekonomi, pemerintahan, politik | , , , | 1 Komentar

Obituari Beny Aziz: Selamat Jalan Senior!


Oleh: Eko Yanche Edrie

Petang menjelang Ashar selepas Jumat lalu telepon di kantor PWI Sumbar berdering. Staf sekretariat Leni Suryani mengangkatnya. Yang menelpon adalah Beny Aziz, wartawan senior yang sedang terbaring sakit di RS Yos Surdarso.

“Caliak lah ambo,” katanya kepada Leni. Leni melapor kepada saya bahwa Da Ben –begitu kawan-kawan menyapanya—minta dibezoek ke rumah sakit. Sudah beberapa hari ini ia sakit tapi belum satupun rekan wartawan menjenguknya. Saya bilang pada Leni, ya, nanti kita atur kunjungan ke RSYS.

Saya tidak tahu apakah benar belum ada wartawan membesoek Da Ben. Tapi sudahlah, yang jelas kemudian pengurus PWI bersama IKWI memutuskan akan menjenguk Da Ben pada hari Minggu selepas menghadiri acara keluarga di rumah Ketua PWI Basril Basyar.

Tapi niat menjenguk itu tidak kesampaian, pulang dari Bandar Buat, hujan amat lebat. Saya, Zulnadi, Naswardi bersama empat pengurus IKWI memutuskan menunda bezoek jadi hari Senin (kemarin) dengan demikian keranjang buah yang sudah disiapkan oleh ibu-ibu IKWI terpaksa dibawa pulang saja oleh Ny. Naswardi.

Pagi kemarin, semua yang sudah berencana membezoek Da Ben, sama-sama menyampaikan penyesalan mendalam. Langit pagi yang mendung terasa makin mendung tatkala SMS beranting beredar, berita menggelegar kami terima: Da Ben telah berpulang untuk selamanya. Innalillahi wa innailaihi raajiun.

Beny Aziz, sepanjang 30 tahun terakhir di jagad wartawan Sumatera Barat namanya bukan nama yang kecil. Pergaulannya yang luas membuat hampir tiap pejabat dan tokoh masyarakat mengenalnya.

Ketika saya masih SMP di tahun 76an, asrama polisi di Batusangkar tempat saya tinggal buncah. Seorang anggota Polantas yang biasanya bertugas di Padang Panjang –sebut saja Sersan X—tiba-tiba ditarik ke Batusangkar dan tidak lagi jadi Polantas. Bisik-bisik beredar, polisi itu ketahuan menerima uang dari sopir bus dan ‘tertangkap basah’ oleh kamera wartawan Haluan. Nama wartawan Haluan itu disebut-sebut Beny Aziz. “Kabanyo Beny Aziz bana nan mamoto,” begitu bisik-bisik saya dengar.

Ketika mulai menjadi wartawan tahun 1983 baru saya mengenal lelaki bernama Beny Aziz itu. Kemana-mana suka pakai baju dan celana dengan dasar kepar berwarna krem. Biasanya kemejanya tidak dimasukkan ke celana tapi dibiarkan lepas begitu saja. “Krem warna kesukaan Bung Karno,” kata Da Ben satu ketika kala saya bertanya kepadanya perihal warna itu.

Awalnya saya anggap Beny adalah wartawan senior yang sombong. Tapi ketika saya diperkenalkan oleh Pak Muchlis Sani saat menjadi Kepala DLLAJR Padang Panjang di kantornya, ternyata terkaan saya meleset. Ia memberi saya sebuah kalimat yang kalau memberi ceramah jurnalistik selalu saya ulang: “Berita itu adalah apa yang kita lihat dan kita dengar”. Itu rumusan universal. Tapi pertama kali kalimat itu saya dengar dari Da Ben. Sejak itu kami sering berinteraksi.

Saat saya dipindah ke Solok tahun 1985 kami acap bersua. Da Ben adalah wartawan Haluan dengan mobilitas tinggi. Tiap lima belas hari ia menelusuri pelosok-pelosok mulai dari Solok, Alahan Panjang, Muaralabuh lalu keluar di Pulau Punjung kembali ke Sijunjung, Sawahlunto dan balik ke Padang. Ada saja informasi yang diubernya. Dan itu harus sampai dapat. Satu ketika saya diajak naik truk mulai dari Sungai Langsat Sijunjung sampai ke Bakauheuni di Provinsi Lampung hanya untuk menghitung berapa jumlah pungutan liar sepanjang jalan lintas Sumatra itu. Saat itu sedang gencar-gencarnya dilakukan operasi tertib oleh Kopkamtib di bawah komando Laksamana Soedomo. Itu perjalanan yang tak terlupakan. Saya mengagumi Da Ben yang sepanjang jalan itu ternyata banyak kawannya.

Kemarin saya terpurangah menerima kabar bahwa Da Ben telah pergi. Sekali lagi saya menyesali kenapa harus membatalkan kunjungan bezoek. Tapi itu Allah yang punya kuasa Da Ben. Maafkan kami, dan Selamat Jalan Senior! (dimuat pada Harian Haluan edisi 6 April 2010)

Mei 13, 2010 Posted by | Obituari, pers/media, tokoh | , , | 1 Komentar

Kucing Air


Oleh: Eko Yanche Edrie

Sebenarnya tidak pernah ada orang di sini mempergalaskan kucing dalam karung. Bahkan di Sumatera Barat belum pernah tersiar kabar ada toke kucing. Yang ada toke jawi atau toke taranak. Untuk jenis hewan kecil seperti ikan atau umang-umang (komang) hanya dilekatkan gelarnya penggalas ikan atau umang-umang.

Maka agak aneh juga kalau dalam Pilkada serentak yang akan memperlagakan lebih seratus tokoh Sumatra Barat ini ada peringatan dini: “Jangan membeli kucing dalam karung!” Kesimpulan kaji, asal muasal istilah membeli kucing itu pastilah bukan dari daerah ini. Mungkin dari daerah lain yang suka memperdagangkan kucing.

KPU sudah menabuh gendang pertanda balapan calon Kepala Daerah dimulai. 13 Kabupaten/Kota ditambah provinsi, maka kalau tiap daerah itu ada empat pasang calon (delapan orang) total jenderal akan ada 88 orang yang mengaku-ngaku ‘patut’ dan ‘mungkin’ untuk dijadikan pemimpin. Ke-88 orang itu serentak berkata: “Pilihlah saya jadi pemimpin!”

Kampanye dengan berbagai cara pun dimulai. Pada umumnya mencoba membangun citra atau menumpang pada citra-citra tertentu. Misalnya yang mengaku bersih meniru Bung Hatta, mengaku pekerja keras meniru citranya Bob Sadino, mengaku sangat saleh, mengaku jago memimpin staf, mengaku ahli memerintah, mengaku telah berhasil membangun (sendirian?) dan seterusnya.

Pokoknya yang hebat adalah awak, yang lain tinggal sekepala. Kemana-mana harus membawa sekambut sarung baru, mukenah baru, kartu nama. Senyum ditabur, kadang uang pun diserakkan. Dimana-mana foto wajahnya dipajang dalam baliho ukuran maxi.

Itu semua dalam rangka menunjukkan kepada publik bahwa dirinya layak untuk dipilih. KPU dan Panwas tidak berang? Ooo tidak, karena itu dilakukan bukan dalam kapasitasnya sebagai seorang calon. Masak orang mengampanyekan kehebatannya ada pula yang melarang? Kampanye-kampanye bebas itu baru akan menjadi perkara kalau sudah resmi mendaftar jadi calon Kepala Daerah di KPU.

Ops…! Ada yang main kasar rupanya. Maklum kali ini jumlah pemain sangat besar sampai hampir 100 orang. Jadi kampanye hitam pun berseliweran. Saling lepas isu negatif lewat SMS dan surat kaleng. Incumbent dapat serangan melakukan korupsi lah, proyek yang tak beres lah, program gagal lah dan sebagainya. Sementara penantang incumbent juga mendapat serangan terhadap berbagai pekerjaannya selama menjabat di satu tempat.

Ada kampenye hitam (black campaign) dan kampanye negatif (negative campaign).  Yang pertama adalah cara main kasar. Sebenarnya kalau mau berpanjang-panjang, kampanye hitam seperti itu boleh dilaporkan saja oleh korban ke polisi sebagai pencemaran nama baik.

Tapi kampanye negatif, kadang ada baiknya. Terutama untuk calon pemilih. Kampanye negatif biasanya isu yang dilansir adalah keburukan lawan politik. Keburukan itu ada data dan faktanya. Cuma dibumbui dengan berbagai hal. Ketika diungkap, faktanya tidak nol tetapi mengandung kebenaran.

Biasanya banyak yang alergi dengan ini. Maklum kada awak benar yang dikelupaskan kawan. Tapi bagi awam yang akan memilih sebenarnya ini dibutuhkan untuk menuntun mana yang akan dipilih. Logikanya, agar tak terpilih kucing dalam karung tadi, maka kucingnya perlu dikeluarkan dulu. Ada empat calon yang mengaku pantas jadi Walikota, Bupati atau Gubernur, maka siapa saja pasti akan memilih yang daftar keburukannya lebih kecil dari keempat calon itu atau memilih yang daftar kebaikan dan prestasinya lebih banyak dari calon lain.

Jadi bak kucing dalam karung tadi, kalau saja ada empat kucing di dalam karung, siapa tahu ada yang kucing air. Konotasi kucing air dalam dialek pergaulan Minangkabau adalah personifikasi untuk ketidakbaikan seseorang.

Kucing air atau tidaknya seorang calon kan susah menelisiknya. Kampanye negatif salah satu cara membantu mengungkapnya, meskipun kampanye negatif senantiasa dianggap tak etis. Konsekwensinya tiap calon harus membersihkan semua kada atau setidaknya memperkecil jumlahnya.

Tapi kalau nanti terpilih juga kucing air bagaimana? Itu namanya : “a watercat have a luckystrike” *** (dimuat pada Harian Singgalang edisi 6 April 2010)

Mei 13, 2010 Posted by | Budaya, isu lokal | , , | Tinggalkan komentar

Berebut Jadi Pemimpi(n)


Oleh: Eko Yanche Edrie

Seru, itu kata yang pantas dituliskan di sini untuk membincang reli kandidat menuju kursi Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Wakil Walikota tahun ini di Sumatera Barat. Bisa dimaklumi karena ini adalah Pilkada serentak yang berhasil digolkan usulannya oleh KPUD Sumbar.

Meskipun ada beberapa kendala teknis tertutama penganggaran bersama, tetapi agaknya itu tidak mengambat keriuhrendahan menyongsong Pilkada serentak ini. Bayangkan ada 13 daerah Kabupaten/Kota yang melaksanakan pemilihan kepala daerah dan wakilnya ditambah dengan satu pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatra barat.

Jika dihitung-hitung reli kandidat ini berlangsung dengan diikuti tak akan kurang dari 100 orang yang mengaku ‘putra terbaik’ dan ‘putra terpantas’ untuk jadi Bupati, Walikota dan wakil-wakilnya. Itu masih ditambah sekurang-kurangnya delapan orang yang berpacu menuju kursi Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Barat untuk memperebutkan 2,6 juta suara pemilih.

Kampanye, kata kunci utama yang akan membuka peluang bagi pemenangan pemilihan kepala daerah ini sesungguhnya sudah dimulai meskipun belum dalam tahapan Pemilu Kepala Daerah sebagaimana yang ditetapkan KPU. Secara sadar atau tidak, sebenarnya sikap kita senantiasa mendua untuk memastikan sebuah aturan berjalan pada track yang benar. Kita sering secara kritis melihat kampanye jor-joran yang dilakukan para kandidat dan menyalahkan Pengawas Pilkada tidak berfungsi dan menuduh para kandidat sudah mencuri start. Tetapi di sisi lain jawaban yang yang diberikan KPU dan pihak terkait lainnya adalah bahwa para kandidat kan belum dinyatakan sebagai calon dan belum mendaftar ke KPU, oleh karena itu pemasanganb baliho bahkan pertemuan tatap muka pun ya, go ahead, silahkan!

Lantas dimana serunya Pilkada serentak di Sumatra Barat kali ini? Ya, karena serentak itulah, jadi dalam benak para pemilih juga tersimpan beragam informasi dari para kandidat. Tiap hari koran-koran memuat pernyataan  kandidat. Ada yang berselimut di balik ‘laporan khusus’ ada yang fair dalam sebuah pariwara.

Serunya, dengan lebih seratus kandidat yang akan berpacu dalam reli kepala daerah tersebut, maka materi kampanye dan pilihan pola kampanye menjadi sangat kompetitif. Namanya kompetisi, maka tidak bisa dijamin semuanya berlaku fair, tidak bisa semuanya dijamin bermain cantik. Ada juga yang main kasar. Bak main bola, tak hanya bola yang disepak, kaki pemain lawan pun diteckle dengan cara halus sampai kasar.

Perang isu sejak dua bulan terakhir ini sebenarnya sudah merebak. Dalam percaturan politik, saling lempar isu adalah bagian dari kampanye. Dan kampanye itu seperti yang sudah-sudah, ada kampanye positif, kampanye negatif ada kampanye hitam. Yang positif sudah tidak perlu diperdebatkan lagi, tetapi kampanye negatif dan kampanye hitam adalah dua hal yang terus menggelinding diantara para kandidat.

Kampanye negatif (negative campaign)  dan kampanye hitam (black campaign) adalah dua hal yang sama-sama berada di ‘kiri’ tetapi tidak persis sama.

Black campaign adalah kampanye kasar yang dilancarkan kepada lawan politik secara terbuka maupun tertutup tetapi tidak pernah punya dasar fakta dan data. Jelasnya itu adalah isapan jempol belaka. Tetapi kadang karena kemasannya ‘hebat’ maka publik bisa terkecoh juga. Misalnya ketika Presiden SBY disebuah sudah punya istri sebelum Ny. Ani, itu jelas kampanye hitam yang teramat kasar. Atau ketika menjelang Pilpres 2004, Ny Ani diisukan adalah seorang kristiani. Padahal beliau adalah Muslim. Jika kampanye seperti itu tidak dilawan dengan cepat, maka bisa-bisa sebagian publik menganggap itu adalah informasi yang benar.

Black campaign tidak saja dilancarkan dengan cara menyerang lawan politik, tetapi bahkan dengan trik menyerang diri sendiri. Dibuatkan isu seolah-olah kandidat lawan ‘menyerang’ dengan isu-isu tertentu yang tidak masuk akal.  Cara ini umumnya menggunakan medium internet. Dibuatkan sebuah account atas nama seorang Cagub A lalu dipakai untuk menyerang Cagub B. Banyak publik terkecoh dengan cara seperti ini. Sebuah account di situs jejaring sosial facebook atas nama Gamawan Fauzi misalnya, ternyata ketika saya cek ke GF bukanlah account miliknya. GF sendiri mengaku tidak pernah membuat account di FB. Bayangkan account seperti itu jika digunakan oleh pihak pembuatnya untuk kepentingan menyerang pihak lain. (dimuat pada tabloid DetikNews edisi 5 April)

Mei 13, 2010 Posted by | isu lokal, politik | , , | 3 Komentar