WARTAWAN PADANG

Hal ihwal tentang Sumatra Barat

Sekali Tepuk, UKM dan Industri Otomotif Tertolong


Hanya impian saja yang bisa mewujudkan perasaan Syafrizal (33) bisa duduk di atas sadel Honda SupraFit sebelum ia mengenal sebuah lembaga pembiayaan. Sebab warga kota Kecamatan Padang Utara ini sehari-hari hanyalah pemulung pada sejumlah tempat sampah.  Sehari pendapatannya hanya Rp20 ribu. Kalau lagi apes cuma Rp15ribu saja yang dia bawa pulang untuk istrinya. Untung Ia belum punya anak.

 Empat silam ia ditawari seorang sales sepeda motor untuk membeli sepeda motor. Dia anggap sales itu mencandainya saja. Sebab dengan apa ia akan membelinya? Meskipun ia memang senantiasa mengimpikan dapat sebuah sepeda motor untuk digunakannya sebagai ojek.  Tapi kemudian ia dihadapkan pada realita, bahwa hanya dengan memecah celengannya yang berisi hampir Rp2 juta lalu ditambah uang dari istrinya, kebanggaan Syaf tak terperikan ketika sepeda motor itu ia perlihatkan kepada Inon, istrinya.  

Sejak itu Syaf mengurangi jadwal memulung di tempat-tempat sampah dan lebih banyak berkeliling Kecamatan untuk mengantarkan penumpangnya. Ia kini jadi pengojek. Nasib baik bersamanya, tiga tahun kemudian sepeda motor itu lunas. Ia menjualnya dengan harga Rp7 juta. Uang itu lalu dijadikannya sebagai down payment sebesar Rp6 juta untuk mengambil tiga sepeda motor baru. Sisanya ia tabung. K

ini dua sepeda motor dia serahkan kepada adik dan iparnya untuk diobyekan sebagai ojek. Harapannya dalam waktu tiga tahun mendatang ketiga sepeda motor itu juga lunas dan akan dijualnya pula. Lalu penjualannya bisa untuk dijadikan uang muka bagi  Kalau tak ada aral melintang, tentu ia bisa membawa pulang sembilan sepeda motor baru berkat bantuan lembaga pembiayaan.  

Cerita sukses seperti itu tentulah amat banyak bertebaran di seluruh Indonesia. Sejumlah orang yang bergabung dengan Koperasi Angkutan juga menikmati hal yang sama saat mencoba keberuntungan memiliki angkutan kota. Astra Credit Company misalnya, adalah salah satu yang ikut memberikan pengaruh besar kepada orang-orang kecil untuk bisa membuka lapangan kerja baru lewat kredit mobil. Sementara sektor yang kita ceritakan pada pagian awal tadi misalnya dilakoni oleh FIF, Aldira dan sebagainya.  

Sejak Kepres 61 tahun 1988 (yang mengatur Lembaga Pembiayaan) dikeluarkan, maka peneguhan kepada publik bahwa kesulitan modal tak lagi melulu dikeluhkesahkan kepada bank dan pegadaian. Sebuah Toyota Avanza mengkilap yang terletak di sebuah ruang pamer otomotif bisa saja dibawa pulang hanya dengan Rp25 juta, sekalipun harga rilnya bisa saja sampai di atas Rp100 juta.

Kok bisa? Ya, itu dia, lembaga pebiayaan memang ditubuhkan oleh pemerintah untuk membantu masyarakat yang membutuhkan pembiayaan. Pembiayaan itu misalnya seperti uang muka kredit mobil, sepeda motor, peralatan rumah tangga dan sebagainya.  Semula banyak yang meragukan lembaga pembiayaan. Maklum ini bisa ditafsirkan sebagai transformasi resiko kredit dari bank ke lembaga pembiayaan.

Jika Anda butuh uang Rp12 juta lalu datang ke bank, tak ada bank yang mau memberikan tanpa ada jaminan yang nilainya pasti lebih besar dari kredit yang Anda butuhkan. Orang-orang kecil sering kecewa ketika didengungkan usaha-usaha kecil mereka akan dibantu perbankan. Nyatanya mereka harus balik kanan setelah customer service di bank itu menanyakan agunan, izin usaha, proposal dan seterusnya. Orang kecil macam Syaf yang hanya pemulung sampah mana ada urusan dengan proposal apalagi izin usaha.  Maka ketika keran lembaga pembiayaan seperti ACC terbuka, orang berduyun-duyun menampungnya.

Bahwa kemudian memang ada macet, lalu kendaraan yang sudah dibawa pulang bisa disita kembali dengan konsekwensi semua cicilan berikut uang muka ikut amblas. Dan itu cukup fair. Rakyat juga harus paham hak dan kewajiban serta mengerti tentang kesungguh-sungguhan.

Keseriusan tidak hanya ketika meneken persetujuan leasing, tetapi juga serius dan sungguh-sungguh dalam mengelola usaha hingga kewajiban mencicil utang juga tidak terkendala.  Tentang adanya kecemasan sejumlah pengamat saat lembaga pembiayaan diperkenalkan, adalah wajar saja. Karena negeri ini memang sudah amat terkenal akan banyak tipu daya. Termasuk memperdaya perbankan. Uangnya dikuras untuk lembaga pembiayaan, lalu pembiayaan mengucurkan ke rakyat, sampai di tangan rakyat macet.  

Dari praktik di lapangan kemacetan kredit itu adalah karena ketidakcermatan dan ketidakkomprehensifan dealer kendaraan maupun lembaga pembiayaan dalam meloloskan permohonan konsumen.

 Sebenarnya kalau lembaga pembiayaan atau dealer menerapkan prinsip-prinsip 4C (character, capacity, capital, collateral) dalam memberi persetujuan pada setiap pemohon faktor non-performance loan alias kredit macet itu bisa diminimalkan.  Kini dengan kerasnya kompetisi antar dealer (baik mobil, motor maupun elektronika) membuat masing-masing dealer berebut pengaruh merayu calon konsumen.

Celakanya lembaga pembiayaan ikut-ikut kehilangan kewaspadaan karena banjirnya permintaan. Dengan 4C maka pertimbangan bahwa moral pengutang (character) bisa dipercaya. Kemudian lembaga pembiayaan juga harus benar-benar meyakini kemampubayaran dari pengutang. Yang tak kalah penting juga apakah pengutang punya modal yang dibarengi dengan adanya jaminan pengutang.  Karena pada prinsipnya lembaga pembiayaan tidak berorientasi pada jaminan, maka jaminan itu diejawantahkan dalam bentuk pembayaran uang muka tadi serta penahanan surat-surat kendaraan oleh pemberi utang.  

Tetapi apapun yang terjadi, nyatanya lembaga pembiayaan telah memainkan peranan yang amat besar dalam menggerakkan sektor UKM (Usaha Kecil dan Menengah) sekaligus berperan besar ‘mengasapi’ industri otomotif nasional.  Data yang ada pada Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) tahun 2006, lebih dari 80 persen pembelian kendaraan dilakukan dengan bantuan lembaga pembiayaan. Begitu juga dengan apa yang dilansir oleh Ketua Asosiasia Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI)  Ridwan Gunawan, 4 juta unit lebih sepeda motor yang terjual 80 persen dilepas lewat transaksi lembaga pembiayaan.  

Keberadaan lembaga pembiayaan ternyata telah mengubah anggapan banyak orang bahwa bank bukanlah satu-satunya tempat untuk mendapatkan modal. Keterpinggiran orang-orang kecil oleh perilaku ekstra-prudensial dari para bankir, sungguh terobati oleh keberadaan lembaga pembiayaan.  Lembaga pembiayaan juga sudah memberikan sesuatu yang bernilai kepada para pabrikan otomotif maupun para dealernya. Angka penjualan yang tadinya rendah, tiba-tiba meroket berkat adanya lembaga pembiayaan.  

Maka kalau masih ada yang menyangsikan keberlangsungan hidup lembaga pembiayaan lantaran ketinggian resiko atas kredit yang mereka berikan,  lembaga-lembaga ini perlu mempertimbangkan prudensian yang diterapkan perbankan, tetapi tetap memberi kemudahan bagi publik.  

Yang belum dilakukan sekarang adalah tidak adanya komunikasi pascatransaksi antara lembaga pembiayaan maupun dealer dengan konsumennya. Padahal jika saja diluangkan sedikit waktu berinteraksi, maka apa dan bagaimana kondisi ril konsumen di lapangan dapat dipantau. Dengan demikian, kemuyngkinan-kemungkinan buruk semisal macetnya kredit dapat diantisipasi lebih awal.  Bank boleh sangat ekstraprudensial, tetapi lembaga pembiayaan mesti menerjemahkannya dalam bentuk kepiawaian memenej resiko yang akan timbul setelah kredit disalurkan kepada konsumen.(eko yanche edrie)

Juni 29, 2007 Posted by | ekonomi | Tinggalkan komentar

Membangun Kampung Besar ASEAN


Impian untuk menjadikan Asia Tenggara sebagai sebuah kampung multietnis di mana orang bisa berlalu-lalang tanpa dihalangi batas negara memang masih mimpi. Ibaratnya kita masuk ke jantung Eropa, cukup dengan visa tunggal ke salah satu negara anggotanya, maka kita pun bisa menikmati perjalanan ke semua negara anggota Uni Eropa.

ASEAN, dalam beberapa subregional dalam kerangka kerja sama ekonomi seperti IMS-GT (Indonesia Malaysia Singapore Growth Triangle) sudah menikmati keleluasaan itu. Meskipun baru dalam bentuk bebas visa, namun ini sudah merupakan langkah maju menuju ‘kampung ASEAN’. Setidak-tidaknya sudah ada preseden yang akan dijadikan pijakan bagi terujudnya kawasan yang di dalamnya berada bangsa-bangsa dengan derajat sama, harapan sama, dan cita-cita yang sama.

Ketika ASEAN dideklarasikan 40 tahun yang silam maka salah satu yang dicita-citakan itu adalah untuk membangun eknomi, sosial dan mengembangkan kejayaan  kawasan di tenggara benua Asia ini. Jelasnya, komunitas ASEAN yang lebih sejahtera, bermartabat dan saling menjaga kedamaian kawasan.

Tapi upaya-upaya untuk merealisasikan cita-cita bersama itu sepanjang lebih satu dasawarsa sejak dideklarasikan ternyata masih amat sulit. Karena berbagai situasi kurang menguntungkan yang dialami negara-negara anggota. Misalnya tentang konflik di Kamboja, Laos, Vietnam dan Myanmar. Maka praktis keberadaan ASEAN sebagai sebuah persekutuan lebih dirasakan di Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand  dan Filipina saja.

Perang saudara dan perang yang dipicu oleh tarik menarik Barat-Timur atau Kapitalis-Komunis di Vietnam dan Kamboja menyibukkan tidak hanya negara-negara dalam konflik itu tetapi juga negara-negara anggota persekutuan lain. Namun sejauh itu amat sulit bagi persekutuan untuk ikut terlibat terlalu jauh guna penyelesaian konflik. Alasan utama yang mengemuka adalah bahwa konflik-konflik lebih dilihat sebagai persoalan internal para anggota ketimbang sebagai gangguan bersama di wilayah persekutuan.

Fakta ini dapat dilihat betapa tak kunjung bisanya ASEAN ‘menentramkan’ pertikaian di Myanmar. Cita-cita ASEAN untuk menjunjung tinggi demokrasi  masih tinggal cita-cita lantaran demokrasi tak bisa begitu saja diterjemahkan sebagai hal yang lintasbatas. Rupanya para anggota ASEAN masih melihat persoalan demokrasi dan HAM adalah persoalan internal dan bukan hal yang lazim untuk dicampuri secara bersama oleh sebuah persekutuan bernama ASEAN, apalagi badan antarbangsa lain seperti PBB.

Sementara maksud dan tujuan untuk mempercepat pembangunan ekonomi, sosial sebagai maksud utama ASEAN pada sepuluh tahun pertama ASEAN belum lagi terlihat dapat diejawantahkan. Kemiskinan dan keterbelakangan masih menjadi isu utama untuk dapat dicarikan jalan keluar.

Akan tetapi pada kurun waktu hampir dua dasawarsa pertama itu urusan-urusan kerjasama politik dan pertahanan sangat mendominasi kesibukan ASEAN. Pakta Pertahanan SEATO sempat diluncurkan dan dicurigai kedua superpower AS dan Uni Soviet sebagai pakta pertahanan yang akan dimanfaatkan bagi kepentingan lawan. AS menganggap SEATO hanya akan digunakan Pakta Warsawa sebaliknya Soviet mencurigai ini adalah pakta pertahanan yang akan menguatkan pengaruh AS di ASEAN terutama dengan adanya konflik Vietnam dan Kamboja.

Tak dapat kita kesampingan sebab musabab (selain faktor internal masing-masing negara) terjadinya konsentrasi aktifitas ASEAN hanya pada soal-soal politik dan pertahanan di awal-awalnya itu lantaran forum-forum lebih didominasi oleh format-format Governement to Governement (G to G)

Forum-forum yang akan bicara soal prosperity seperti forum antarparlemen belum menunjukkan wajahnya. Bahkan hingga empat tahun silam isu pertahanan mulai beralih ke isu yang tidak jauh beda yakni keamanan tetap disuarakan forum KTT ASEAN. Ketika para Menlu ASEAN bersua di Pnom Penh 2003 masih belum bisa manjauh dari isu keamanan. Meluncurlah apa yang disebut dengan Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community-ASC). Itu artinya persoalan yang dihadapi sebagian besar anggotanya masih seputar keamanan yang akhirnya menjadi gangguan bersama.

Soalnya sekarang bagaimana melanjutkan cita-cita bersama yang diusung sejak awal yakni kesejahteraan dalam ujud pembangunan ekonomi sesegeranya bisa dicapai?

Sebenarnya kesibukan dengan isu tunggal pertahanan keamanan, lantaran konsentrasi forum memang lebih didominasi pemerintah masing-masing anggota. ASEAN pada sepuluh tahun pertama masih merupakan representasi kepala-kepala pemerintahan. Waktu itu belum ada kontribsi yang berarti dari parlemen masing-masing anggota. Paling-paling dalam kapasitas sebagai tuan rumah sebuah KTT, maka ketua parlemen tuan rumah ikut hadir dalam forum itu. Selebihnya komunitas parlemen ASEAN hanya penonton.

Maka ada harapan besar isu ekonomi dan kesejahteraan masyarakat akan mulai mendominasi ASEAN ketika dideklarasikan Organisasi Antarparlemen ASEAN (ASEAN Inter-Parliamentary Organization – AIPO) pada 2 September 1977.  Deklarasi AIPO di Manila yang dilakukan setelah 10 tahun kehadiran ASEAN saat itu amat diharap sebagai instrumen penentu bagi keberlanjutan cita-cita ASEAN dalam kemajuan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat. Indonesia amat berperan besar dalam pembentukan AIPO itu, karena sejak 1974 sudah diusung Indonesia ke forum ASEAN.

Keharusan dan kemendesakkan perlunya forum antarparlemen ASEAN sudah disampaikan Indonesia pada tahun 1974. gagasan Indonesia yang diprakarsai DPR-RI mendapat dukungan empat negara anggota lainnya (Malaysia, Thailand, Singapura dan Filipina). Inti gagasan DPR RI adalah agar parlemen-parlemen negara anggota anggota ASEAN juga berhimpun hingga bisa mendampingi ASEAN sebagai representasi perhimpunan negara-negara yang sudah lebih duluan.

Maka sejak itu secara resmi negara-negara anggota ASEAN mengirimkan parlemennya ke AIPO untuk menjadi anggota, kecuali Brunei Darussalam dan Myanmar yang masih dikategorikan sebagai peninjau (special ovserver) lantaran belum punya parlemen.

Secara bergiliran kesepuluh anggota tiap tahun menjadi tuan rumah Sidang Umum AIPO. Total jenderal sudah 28 kali AIPO bersidang umum. Tapi apa yang sudah diperdapat dan dihasilkan AIPO?

Sejauh ini yang dikesankan kepada kita adalah hanya forum-forum formal bahkan sepertinya sekedar pertemuan seremonial belaka. Toh, keinginan untuk berbicara lebih lugas dan lebih menukik ke persoalan ekonomi dan kesejahteraan rakyat ASEAN masih saja lebih besar diperankan oleh badan-badan ASEAN sendiri. Pertemuan G to G bahkan sudah dijuruskan kepada pertemuan Bussiness to Bussiness (B to B)

AIPO sebagai representasi antarparlemen ASEAN yang berhimpun masih diposisikan sebagai ‘pendorong’ belaka. AIPO masih dilihat sebagai ranah politik sebagaimana yang juga berlangsung di tiap negara anggotanya. Peranan lebih besar dari AIPO untuk ikut bersama-sama instrument ASEAN lain memajukan kawasan ini tidak sebesar apa yang ada pada Parlemen Eropa.

 Sebenarnya persoalannya adalah pada persoalan keterbatasan kewenangan saja. AIPO tak bisa bergerak jauh lantaran ia hanya lembaga terbatas yang tak seberwenang ASEAN sebagai sebuah perhimpunan. Berkaca pada Parlemen Eropa misalnya, ini adalah bentuk ideal yang dapat diadopsi oleh AIPO. Parlemen Eropa benar-benar menjadi parlemen masyarakat Eropa yang tergabung dalam 25 negara Uni Eropa. Ia dipilih dalam pemilihan umum layaknya oleh rakyat dengan mendudukkan lebih 700 anggota. Dengan demikian Parlemen Eropa bukan sekedar organisasi antarparlemen negara-negara Uni Eropa. Tetapi Parlemen Eropa adalah badan yang bisa menjalankan fungsi legislasi memveto atau mengamandemen undang-undang yang diperlukan Eropa lintasnegara. Ia juga menjalankan fungsi budgeting untuk pembiayaan Uni Eropa setiap tahun sekaligus dapat membubarkan Komisi Eropa. Kembali ke soal AIPO. Dengan segala keterbatasan yang ada padannya memang tak banyak yang bisa diharap selain mengukuhkan persahabatan antarparlemen negara-negara ASEAN. Maka ketika harapan banyak orang agar ASEAN lebih berarti lagi, maka mau tak mau harapan itu juga tertuju kepada AIPO.  

Pada konsep Eropa, Uni Eropa merupakan institusi bersama dimana para anggotanya mendelegasikan sebagian kedaulatan mereka. Dengan demikian banyak kebijaksanaan nasional masing-masing anggota bertali-temali dengan kebijaksanaan Uni Eropa.

ASEAN sebenarnya (kalaupun tidak seratus persen) bisa mengadopsi ini. Parlemen ASEAN paling tidak akan menjadi trigger bagi terciptanya hubungan yang lebih kental dalam kerangka ASEAN sendiri.

Kenyataan-kenyataan ini sesungguhnya mesti menjadi penyadaran bersama dalam kerangka AIPO bahwa apa yang pernah diapungkan oleh delegasi Filipina pada SU AIPO ke-3 tahun 1980 sungguh sesuatu yang amat relevan. Filipina 27 tahun silam itu sudah mengusulkan dibentuknya semacam Parlemen Lintasnegara atau apa yang diistilahkan Parlemen ASEAN.

Gagasan itu bukan gagasan buruk apalagi ketinggalan zaman dan wajar diaktualisasikan lagi. Tapi rupanya ini bukan sebuah gagasan yang mudah diterima begitu saja oleh kesepuluh anggota AIPO. Kecenderungan parlemen-parlemen masing-masing negara masih was-was kalau Parlemen ASEAN kelak akan masuk lebih jauh ke ranah parlemen negara-negara atau langsung ke pemerintahan negara-negara anggota ASEAN.  

Sekalipun sudah pernah diadakan studi banding ke Parlemen Eropa namun banyak diantara anggota tidak mau mengadopsi begitu saja pola Eropa yang dianggap tidak sertamerta cocok dengan kultur ASEAN yang lebih malay-orientalis. Tapi kita tidak harus kecil hati, toh akhirnya disepakati juga perubahan AIPO menjadi AIPA (ASEAN Inter-Parliamentary Assembly).

Dalam rangka berpikir optimis, harus kita lihat ini sebagai sebuah langkah maju. Pertemuan tingkat tinggi AIPO di Kual Lumpur April 2007 yang memutuskan perubahan AIPO ke AIPA dapat kita jadikan gerbang untuk menuju Parlemen ASEAN sesungguhnya. Dengan segala keterbatasan AIPA saat ini tentu saja belum bisa diharap bahwa ia akan melembaga seperti Parlemen Eropa. 

Sebagaimana disebutkan dalam statuta pendiriannya, AIPA masih dalam tahap ‘dapat mengusulan’ produk-produk legislasi bersama kepada pemerintah masing-masing anggota. Dengan demkian ia belum bisa menentukan lebih besar jalannya kebijaksanaan ASEAN. Artinya kekuatan Sekretariat Jenderal ASEAN masih belum terimbangi oleh Sekretariat Jenderal AIPA. Maka harapan-harapan untuk mengejawantahkan tiga isu besar ASEAN,  ASEAN Security Community (ASC), ASEAN Economic Community (AEC) dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC); tetap kita sangkutkan pada AIPA. 

Kelak, Kampung Besar ASEAN tidak lagi ada dalam mimpi. Seorang Vienn Minh dari Vietnam tak canggung langi berlenggang kakung menyusuri Pasar Atas Bukittinggi. I Nyoman Pake menikmati pelabuhan ikan di Santos melihat tuna-tuna dibongkar tanpa khawatir. Raheem Osman bin Haji Awang melintas di Bukit Batu Hitam ke wilayah Thailand tanpa rasa cemas diburu imigrasi. Namanya juga kampung sendiri, jadi kenapa harus terhalang batas ‘wilayah adminitrasi’. E

ropa saja yang amat multietnis bisa kenapa ASEAN yang keberagaman rasnya tidak terlalu banyak tidak bisa? Kaukus ini adalah kaukus yang harus diperhitungkan masyarakat dunia. Dalam kuantitas saja ASEAN lebih 500 juta, Uni Eropa hanya 470 juta, AS kurang 200 juta. Bagi masyarakat industri dunia, ini adalah pasar potensial. Tapi apakah selamanya kita hanya jadi pasar?AIPA menjadi harapan untuk menegakkan marwah bangsa-bangsa Asia Tenggara di masa datang. Karena itu bersatulah! (eko yanche edrie)

Juni 29, 2007 Posted by | internasional | 1 Komentar

Perspektif Baru Jurnalisme di Era Good Governance


Kata Good Governance tiada akan berarti apa-apa, bahkan hanya akan ditaruh di tumpukan kertas buram andaikata pers tidak gencar mengusungnya sejak awal reformasi di Indonesia.

Tapi sejauh ini macam-macam saja tafsiran atas istilah Good Governance tersebut. Sebagian menyebut sebagai kinerja pemerintah atau bahakan ada yang bilang bahwa Good Governance (selanjutnya kita sebut saja GG) utama adalah bagian dari demokrasi.

 

Masih banyak lagi ‘tafsir’ GG yang diberikan oleh berbagai pihak. Seperti yang didefinikan oleh World Bank sebagai berikut: GG adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.

 

Namun untuk ringkasnya GG pada umumnya diartikan sebagai pengelolaan pemerintahan yang baik. Kata ‘baik’ disini dimaksudkan sebagai mengikuti kaidah-kaidah tertentu sesuai dengan prinsip-prinsip dasar GG.

 

Ada tiga pilar dalam penegakkan GG yakni, Negara – Swasta – Masyarakat Madani. Ketiganya harus saling menegakkan sekaligus saling mengawasi. Pers ada dalam pilar Masyarakat Madani. Itu artinya pers pun harus mengawasi dirinya sendiri dan terbuka pula untuk diawasi oleh dua pilar yang lain.

Dimana pers bisa menjalankan fungsinya untuk menegakkan GG? Bahan diskusi singkat ini akan membawa kita kepada sembilan prinsip GG. Dalam Sembilan Prinsip GG itulah pers menunaikan tugasnya. Workshop ini mencoba mengajak jurnalis memperbarui prilaku guna disejalankan dengan prilaku GG.

 Prinsip-prinsip Good Governance

Kunci utama memahami good governance adalah pemahaman atas prinsip-prinsip di dalamnya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini akan didapatkan tolak ukur kinerja suatu pemerintahan. Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Menyadari pentingnya masalah ini, prinsip-prinsip good governance diurai satu persatu sebagaimana tertera di bawah ini:

 

  1. Partisipasi Masyarakat

Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kapasitas untuk berpartisipasi secara konstruktif.

  Prilaku Media Sebelum GG

Berita-berita ditulis dengan prilaku afirmativ. Semua berita tentang kebijakan publik serba bersumber dari atas. Yang terjadi adalah monodiskursus atau wacana tunggal. Kalau Gubernur/Bupati/Walikota/Camat berbicara, seakan mahabenar. Tak ada semangat untuk mencurigai sama sekali apa yang diucapkan pejabat tentang kebijaksanaan publiknya. Adanya kecenderungan memproduksi berita satu sumber untuk empat berita.

 Prilaku Media Setelah GG

Sikap kritis media harus makin mencuat. Terutama untuk kebijakan pemerintah/DPRD yang menyangkut publik harus ada imbangannya dari ranah publik. Rakyat harus ikut menimpali statmen pemerintah. Harus ditunjukkan adanya partisipasi riil rakyat dalam penetapan sebuah kebijakan publik. Artinya tidak hanya semu pada tataran legislatif saja yang diwawancarai.

 

  1. Tegaknya Supremasi Hukum

Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.

 Prilaku Media Sebelum GG

Pemberitaan media cenderung bersumber dari keterangan polisi dan jaksa. Tidak banyak tempat diberikan kepada para tersangka. Pemberitaan lebih didominasi dari keterangan aparat hukum saja. Seakan-akan jaksa dan polisi adalah pihak yang tidak mungkin melakukan kesalahan kelalaian.

 Prilaku Media Setelah GG

Harus ada keseimbangan informasi dua sisi dari penegak hukum, pelaku kejahatan dan korban kejahatan. Koreksi atas kinerja jaksa dan polisi serta pengadilan harus ditingkatkan.

 

  1. Transparansi

Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.

 Prilaku Media Sebelum GG

Selama ini justru semangat transparansi inilah yang sepertinya ikut dikaburkan pers. Kalimat: “Ini hanya untuk konsumsi kita saja, jangan diberitakan ya?” masih terlalu sering mengganjal pekerjaan jurnalis. Hal-hal yang menjadi latar belakang masalah –selama itu tidak menjadi rahasia negara dan membahayakan keselamatan umum jika diberitakan– sering dianggap sebagai benar-benar rahasia negara seolah tidak boleh didengar publik. Contohnya APBD, media hanya tahu pada bahagian hilirnya saja, sedang prosesnya dilakukan tertutup.

  Prilaku Media Setelah GG

Jurnalis harus berupaya untuk berada pada peristiwa-peristiwa penting penggodokan keputusan menyangkut publik. Misalnya penyusunan APBD, jurnalis harus mengupayakan agar bisa ikut dalam semua tingkat pembahasan di eksekutif maupun legislatif.

 

  1. Peduli pada Stakeholder

Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.

 Prilaku Media Sebelum GG

Pelayanan ‘bawah meja’ senantiasa kita anggap sebagai hal yang lumrah-lumrah saja. Pers baru memekik atas prilaku pelayanan umum di sentra-sentra pelayanan (imigrasi, samsat, PDAM. PLN. Kantor Pajak, Pengurusan KTP, Catatan Sipil, Rumah sakit dsb) ketika pribadi-pribadi jurnalis yang jadi korban. Selebihnya lebih banyak tutup mata saja.

 Prilaku Media Setelah GG

Berita-berita tentang percaloan di Samsat, imigrasi, pelabuhan, pengurusan izin berbagai aktifitas yang penuh mafia makin banyak dan makin membuat pemberi pelayanan umum tambah menyadari kesalahan mereka. Kebobrokan pelayanan umum tidak lagi sekedar jadi berita penghuni rubrik surat pembaca atau rubrik interaksi via SMS di berbagai media. Melainkan menjadi berita yang ditelusuri secara komprehensif ke lapangan.

 

  1. Berorientasi pada Konsensus

Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakan-kebijakan dan prosedur-prosedur.

 Prilaku Media Sebelum GG

Sejak Otonomi daerah digulirkan, Pilkada adalah salah satu dari ‘bintang berita’ dalam hal kegegapgempitaannya. Tapi media lebih banyak terfokus pada orang, bukan pada program orang tersebut. Bahkan visi dan misi yang kemudian diharuskan secara undang-undang jadi landasan restra daerah tak terdengar kabarnya. Bagaimana pergulatan pikiran dalam penetapan visi misi kepala daerah menjadi topik liputan kelas dua saja dalam keseharian jurnalis. Visi dan misi adalah konsensus bersama (setelah dijabarkan jadi renstra ataupun RPJP dan RPJM) tapi sedikit sekali media ‘mencikaraui’ apakah seorang kepala daerah masih setia dengan visi dan misinya?

 Prilaku Media Setelah GG

Media harus senantiasa mengingatkan dalam pemberitaan-pemberitaannya bahwa visi dan misi kepala daerah yang sudah tertuang ke dalam renstra adalah semacam ikrar bersama. Sebuah konsensus yang tidak boleh digeser ke arah lain. Tiap hari harus dikritisi bahwa visi dan misi seorang Bupati masih belum terlaksana walaupun masa jabatannya sudah memasuki tahun ketiga.

 

  1. Kesetaraan

Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka. Kesetaraan aspirasi, kesetaraan di depan hukum harus terlihat nyata.

 Prilaku Media Sebelum GG

Terasa keberpihakan media kepada siapa yang ‘bersuara keras’. Jika pemerintah yang keras suaranya, media cenderung menyuarakan suara pemerintah, jika pengusaha/LSM/masyarakat yang keras, maka pers menyuarakannya. Begitu juga dengan berita-berita adu hegemoni antara legislatif-eksekutif. Jurnalis yang memilik pos pada masing-masing lembaga itu saling adu jago ‘jadi humas’. Yang lebih buruk, kesetaraan antara jurnalis dan narasumber (terutama yang dari pejabat) mulai menyusut. Jurnalis menghadapi pejabat seperti menghadapi atasannya.

 Prilaku Media Setelah GG

Prinsip kesetaraan mestinya sudah terrepresentasikan pada media. Media harus memiliki kecenderungan untuk menggiring isu ke arah ideal dan fakta-fakta yang mengandung kebenaran. Pers menyorot eksekutif boros, tapi juga harus mengkritisi bahwa DPRD pun sama borosnya. Setiap kali ada demo massa, jangan lagi media punya kecenderungan untuk memahabenarkan suara orang ramai.  Kesetaraan dan egalitarianisme adalah sikap hidup jurnalis dan orang Minang.

  

  1. Efektivitas dan Efisiensi

Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.

 Prilaku Media Sebelum GG

Dalam banyak hal media belum njelimet menghitung rupiah demi rupiah yang dibelanjakan oleh pemerintah maupun DPRD. Tiap kali penyusunan APBD, buku tebal APBD (kalaupun dibagikan) tidak pernah ditelisik baris demi baris. Padahal ada ratusan item yang dalam prinsip efektif efisien tak bersua sama sekali.

 Prilaku Media Setelah GG

Mulailah mengkritisi pembelajaan pemerintah DPRD dengan lebnih njelimet. Diharapkan jurnalis dapat mendalami sistem anggaran berbasis kinerja, memahami neraca keuangan terutama prinsip-prinsip yang berhubungan dengan akuntasinya. Sedang pada implementasi anggaran bisa dikritisi hal-hal yang mestinya bebas-biaya malah jadi sumber korupsi. Coba di cek, apakah upacara 17 Agustus, panitianya masih teken daftar honor? Jika ada pejabat yang perlu data di Jakarta, jika itu bisa dengan email lalu harus terbang ke Jakarta, mau ngapain? Tanya kenapa!

 

  1. Akuntabilitas

Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. Bentuk pertanggung jawaban tersebut berbeda satu dengan lainnya tergantung dari jenis organisasi yang bersangkutan.

 Prilaku Media Sebelum GG

Selama ini akuntabilitas anggaran senantiasa diterjemahkan dalam bentuk bisa diaudit, dilaporkan ke legislatif dalam bentuk laporan tahunan. Banyak lembaga swasta bahkan pers yang menggunakan anggaran negara (berupa bantuan dsb) tetapi sejauh ini akuntabilitasnya masih lemah. Dan ini jarang dikritisi.

Prilaku Media Setelah GG

Tiap penggunaan uang negara mesti jelas pertanggungjawabannya. Harus makin banyak diungkap oleh media, biaya perjalanan dinas yang irrasional, akuntabilitas anggaran pada DPRD. Khusus yang terakhir ini belum banyak kita sorot. Kita terus ‘menghajar’ penggunaan anggaran pemerintah, tetapi anggaran yang sama juga digunakan secara serampangan oleh legislatif. Harap dicatat, belum ada ‘Bawasda’ nya DPRD

 

  1. Visi Strategis

Para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut.

 Prilaku Media Sebelum GG

Setelah Kepala Daerah terpilih dan yang bersangkutan sudah nyaman di kursinya, dalam praktiknya media pun hanyut dengan rutinitas sang kepala daerah. Makin lama makin tumpul daya kritis, hingga ketika kepala daerah itu ternyata tidak memiliki visi jauh ke depan sebagaimana harapan orang banyak, media pun meluputkannya. Ada kepala daerah pada dasarnya tidak punya potensi pariwisata, tapi jor-joran membangun pariwisata. Ke langit pun ia menjemur, tak mungkin mengungguli Bukittinggi. Yang seperti ini malah ‘dihilirkan’ pula oleh media.

 Prilaku Media Setelah GG

Jurnalis pasti punya notes kecil yang mencatat semua tindak tanduk kepala daerah. Semangat mengkritisi visi strategis kepala daerah itu diawali dari membuka kembali notes wartawan. Jika Walikota Solok hendak membangun Rumah Sakit besar, kritisi apakah itu feasible? Begitu juga Walikota Padang Panjang yang membangun rumahsakit besar, apakah tidak akan mencekik APBD kota kelak? Apakah lantaran Walikotanya dokter lalu kita biarkan berlalu begitu saja?

 PENUTUP

Satu pertanyaan mengganjal saat ini: bisakah pemerintahan bersih kita lembagakan kalau tidak ada pers yang juga bersih? Ini persoalan berikutnya dari sebuah perjuangan pers. Salah satu yang menjadi fakta tak terelakkan di lapangan adalah bahwa secara ekonomi, institusi pers dan kaum jurnalis belumlah berdaya. Akibatnya godaan gampang datang. Jika ada tuduhan bahwa sebagian jurnalis dan media terkooptasi oleh kekuasaan atau bahkan ada yang lebih ekstrem lagi ada media dan jurnalis sudah menjadi subordinat dari kekuasaan, maka semua itu adalah hal-hal yang ke depan harus diperbaiki sendiri oleh masyarakat pers.

Keterceraiberaian jurnalis, membuat tak munculnya sinergi yang kuat untuk melahirkan kekuatan sebagai pressure group maupun sebagai balancing power bagi pihak berkuasa dengan rakyat. Institusi media yang seharusnya merupakan sebuah industri, ternyata dibiarkan terus menerus hidup kerdil. Tiga pilar: negara, swasta dan masyarakat madani berlomba mendekati media. Celakanya, sebagian media dan jurnalis mau pula ‘digunakan’. (eko yanche edrie)

Juni 29, 2007 Posted by | pers/media | Tinggalkan komentar

‘Mengeroyok’ PAUD Demi Bersinarnya Golden Age


1.Kesederhanaan, membuat orang tuanya juga memberi nama sederhana kepadanya. Imun, begitu singkat namanya adalah bocah perempuan dari daerah perbatasan Sumbar – Jambi tinggal tak jauh dari sisi jalan Lintas Sumatra yang hanya ramai oleh bunyi knalpot truk dan bus jarak jauh antarprovinsi.Dalam  usia 4 tahun ia bermain-main dengan anjing piaraan ayahnya. Namanya kanak-kanak balita, menangkap apa yang dilihat dan didengarnya. Pelajaran melompat atau menggerak-gerakkan pantatnya, memang ia peroleh dari anjing teman bermainnya itu. Jangan-jangan setelah itu ia juga belajar menggigit dari anjing itu pula. Mak!***  2.Dua bocah perempuan, dengan rambut dikuncir dua berlarian menuju gerbang play group Adzkia di kawasan Gelanggang Olah Raga H. Agussallim Padang. Tubuhnya padat berisi, matanya bundar dan jernih bak mata kelinci. Tak lama kemudian mereka berbaur dalam kerumunan kana-kanak lain temannya sesama warga play group. Mereka lalu belajar bernyanyi, belajar tentang agama. Guru-guru menceritakan kepada mereka tentang burung yang bisa terbang, pesawat udara, kapal dan kereta api. Hingga siang mereka puas bermain bersama sambil belajar hal-hal dasar. Lengkaplah kebahagiaan orang tua mereka.***  Kedua fragmen di atas adalah langit dan buminya nasib kanak-kanak balita (bawah lima tahun) di berbagai belahan pulau di Indonesia. Yang satu amat berkekurangan yang lain amat berkecukupan. Yang satu tumbuh tergantung musim, yang satu tumbuh teratur dengan pupukan ilmu pengetahuan yang cukup.

Mereka, sepuluh atau dua puluh tahun mendatang akan menjadi variabel-variabel penentu angka-angka Human Development Index (HDI) negeri dengan penduduk hampir seperempat miliar ini. Tahun 2005 saja, HDI Indonesia masih berada pada posisi 111 dari 177 negara.

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tiba-tiba menyentak kita untuk memikirkan apa pengaruhnya bagi kehidupan bangsa ke depan kalau tidak dilaksanakan. Menurut data BPS 2004, tingkat pendidikan masyarakat Indonesia masih relatif rendah.  Rata-rata  lama  sekolah penduduk usia 15 > baru  7,1 tahun. Angka itu masih dipersedih oleh adanya buta aksara  pada penduduk usia 15 >  sebanyak 14,7 juta (9,55%) (Susenas BPS          2005)

Sementara penduduk usia sekolah  (7 – 24 thn) ada sebanyak 76 juta orang, hampir separuhnya (40%) tidak bersekolah (Pusat Informasi Balitbang Diknas, 2004)Bagaimana dengan kondisi kanak-kanak seperti Imun dan kawan-kawannya di atas?Kanak-kanak seusia dia ternyata baru seperempatnya saja di Indonesia yang dapat disentuh oleh Pendidikan Anak Usia Dini. Jumlah anak berusia hingga enam tahun itu ada sekitar 28 juta anak.

28 juta anak itu bukan angka yang kecil, tetapi signifikansinya sangat tinggi untuk mengubah dan menentukan jalannya republik ini pada 20 atau 30 tahun mendatang.Mata kelinci mereka yang lucu-lucu jika tidak disentuh pendidikan pada usia dini, kelak akan berubah jadi mata beringas, merah dan menyala. Mereka bisa berubah ganas dan destruktif jika salah sentuh atau tak disentuh sama sekali dengan pendidikan-pendidikan yang lebih awal.

Masa usia nol hingga enam tahun sering disebut sebagai masa keemasan atau golden age. Soalnya sekarang adalah golden ege itu memang mereka –kanak-kanak—lewati, Cuma seberapa bersinarkah masa keemasan itu?

Tidakkah masa itu dilewati macam Imun dan kawan-kawannya di semak belukar yang suram. Atau di komplek-komplek pelacuran, di pesisir pantai yang sarat bau amis ikan nelayan?

Seberapa banyak kanak-kanak Indonesia yang sempat disentuh oleh PADU? Inilah persoalan kita. Di atas kertas pemerintah sudah mengancar-ancar bahwa hingga 2009 paling tidak 35 persen dari hampir 12 juta anak usia 2 hingga 4 tahun dapat menikmati layanan pendidikan anak usia dini.

Di atas kertas?Ya! Karena kita tahu belaka seberapa besar tingkat ketersebaran sarana dan prasarana PAUD di Indonesia? Apalagi kalau yang hendak dituju oleh ancar-ancar pemerintah itu adalah layanan PAUD non-formal. PAUD non-formal adalah semacam Kelompok Bermain, Pos PAUD, Bina Keluarga Balita, sanggar balita dan sejenisnya. Khalayak dapat memahami bahwa keterlibatan swasta dalam membentuk lembaga-lembaga PAUD non-formal itu pastilah lebih banyak dalam rangka membisniskan pendidikan. Hanya para relawan saja yang benar-benar mau dengan sukarela meluangkan waktu, pikiran dan dananya untuk membuka lembaga-lembaga PAUD.

Orang-orang berduit lebih suka membangun TK dan Play Group untuk segmen kelas menengah ke atas, dimana uang tidaklah terlalu dihitung benar oleh orang tua. Asal anak mereka bisa mendapat pendidikan dini yang memadai, mereka mau mengeluarkan uang berapapun.

 Berbeda dengan  kanak-kanak yang orang tuanya masuk kategori miskin. Yang banyak bersua itu adalah, sudahlah berada di lingkungan keluarga miskin, di tempat itu juga tidak ada lembaga pendidikan anak usia dini. Tak ada kelompok bermain, tak ada Pos PAUD apalagi play group.

Dapat kita katakan bahwa urusan ini amat berat. Ditjen PLS cq Direktorat PAUD boleh jadi terus mengampanyekan peningkatan mutu dan daya saing serta tata kelola PAUD. Tetapi yang jauh lebih berat untuk dicarikan upaya pemecahan jalan keluarnya adalah bagaimana sebuah direktorat jenderal seperti Ditjen PLS bisa mengajak serta institusi lain di luar Departemen Diknas untuk bersama-sama memberi perhatian kepada PAUD.Urusan ini mesti ditangani secara lintas sektoral, tak bisa hanya Depdiknas saja. Apalagi jika muncul pula semangat egosektoral, maka alamat program memberikan pendidikan secara lebih dini kepada Balita Indonesia hanya akan jadi lagu sedih yang tak kunjung usai dan selesai.

Apalagi PAUD adalah hal yang juga diisyaratkan untuk diejawantahkan dalam bentuk program nyata oleh UU No 20/2003 tentang Sisdiknas. Pada salah satu pasalnya dinyatakan bahwa pendidikan menjelang Sekolah Dasar adalah pendidikan usia dini yang diselenggarakan secara formal dan non-formal. Jika itu diselenggarakan secara formal maka namanya adalah Taman Kanak-kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA) sementara untuk yang non-formal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA)Yang kita kenal banyak adalah lembaga yang formal. Sebagaimana sudah dikemukakan di atas, untuk yang formal ini sangat menghendaki kecukupan pembiayaan. Maka agar tidak terjadi kekosangan waktu didik lantaran tak ada TK dan RA, masyarakat dianjurkan membentuk lembaga PAUD non-formal. Misalnya itu tadi, Kelompok Bermain maupun Taman Penitipan Anak dan sejenisnya.

Upaya pemerintah untuk menyediakan lembaga-lembaga PAUD dicerminkan dengan alokasi anggaran untuk PADU. Tahun ini misalnya paling tidak terdapat dalam APBN alokasi PAUD sebesar hampir Rp200 miliar.

Dana itu jelas masih jauh dari cukup jika memang hendak menyelesaikan PAUD bagi 28 juta anak. Maka hanya ada satu kata sekarang: ‘keroyoklah’ PAUD. Keikutsertaan masyarakat serta lintassektoral sangat diperlukan. Ditjen PLS harus makin aktif mengajak berbagai organisasi massa, organisasi sosial, organisasi fungsional, organisasi profesi bahkan organisasi politik pun untuk mau terjun meluangkan waktu memperhatikan lembaga PAUD non-formal. Bahkan organisas-organisasi itu patut diajak mendirikan sebanyak-banyak lembaga PAUD non-formal di daerah-daerah yang belum bisa dijangkau PAUD formal.

Pengeroyokan terhadap PAUD non-formal merupakan pengejawantahan tekad bersama untuk mewariskan negeri ini dalam kondisi ‘siap pakai’ kepada generasi berikutnya.

Sekali saja kita yang hidup hari ini menyia-nyiakan golden age dari kanak-kanak Indonesia, maka selamanya kita akan disesali oleh mereka yang akan hidup 20, 30, 40 tahun berikutnya. Bahkan selamanya kita akan disesali sebagai nenek moyang yang hanya mau mementingkan dirinya sendiri.(eko yanche edrie)

Juni 29, 2007 Posted by | pendidkikan | 4 Komentar

Nasionalisme bukan Xenophobia


Bukan Sri Edi Swasono namanya kalau tak bicara soal nasionalisme. Ia begitu miris melihat generasi sekarang jadi begitu gandrung dengan hal ihwal yang serba Amrik, serba luar negeri, seolah semua yang berbau ‘luar’ adalah hebat.

 

Kemarin ekonom senior yang juga mantu Bung Hatta itu kembali mengungkap kegusarannya di Padang. Dalam acara Annual Lecturer mengenang tokoh diplomasi Mohammad Hatta,  Apresiasi Perjalanan 50 tahun Hubungan Diplomatik  RI-Malaysia”,  di Kampus Unand, Sri Edi bicara telanjang tentang hedonisme bangsa yang mulai dipandangnya berlebihan.

 

Semangat untuk mengedepankan rasa nasionalisme bukan berarti Sri Edi mengajak kita untuk bersikap Xenophobia, tetapi mengingatkan bangsa ini yang terlalu terperosok memahami globalisasi seoalah harus menyerah kepada asing.

 

Masuk di akal sehat kita apa yang dikemukakan Sri Edi Swasosno itu. Lihat saja negara tetangga Malaysia sekalipun dalam hal-hal tertentu misalnya teknoli tak dapat tidak harus ikut pusaran globalisasi, tetapi Malaysia tidak meulu tunduk secara ekonomi dan kebudayaan dengan asing.

 

Seperti diungkap pengajar UI itu, Malaysia hingga kini masih mampu mengatasi pasar bebas, akibat kepiawaiannya dalam berdiplomasi. Malaysia tidak sepenuhnya tunduk ke WTO, malah sebaliknya bisa menolak impor sehingga produsen di negeri Jiran itu tetap berjaya bertahan, karena  Malaysia unggul dalam diplomasi.

 

Kelemahan kita, Indonesia dalam hal ini adalah tidak bisa menolak produk impor, sebab kebijakan itu jelas merugikan produsen di tanah air, karena sebagian pembeli tentu beralih pada  produk luar.

Lalu kembali ke pokok pikiran Sri Edi, bahwa bangsa Indonesia mengandrungi yang serba ‘pop’ (populer–red), atau serba luar negeri. ‘Pendidikan’ Amerika Serikat, misalnya tanpa disangka sudah menjual produk asing di Indonesia, anehnya kita justru menikmatinya,  bukan menolaknya. Tidak ada seminar di Indonesia yang membahas produksi sendiri. Bangsa Indonesia ‘sedang bunuh diri’  karena lebih menggandrungi ‘pop’ dan mengabaikan buatan dalam negeri sendiri.

 

Dalam berbagai ‘perbantahan terbatas’ di Sumatra Barat antara paham yang mengedepankan ABS-SBK dengan yang anti ABS-SBK sering kita dengar bahwa akar budaya, adat istiadat, bahkan agama (Islam) sekalipun dikatakan terancam oleh arus globalisasi. Bahwa sedang terjadi imperialisme baru berupa penjajahan kebudayaan dan ekonomi. Tiap hari kita pekikkan itu dalam ‘perbantahan terbatas’ tadi. Tapi kita seperti ditengarai Sri Edi sering bersifat ambivalen. Kita menentang kultur lokal dirusak oleh asing, tetapi secara ekonomi kita membuka ekonomi asing menjajah kita secara diam-diam.

 

Kaum muda Sumatra Barat sudah demikian ‘go ahead’ nya terhadap apa-apa yang berasal dari luar. Mereka memaki-maki Amerika yang terus bikin kegaduhan di Timur Tengah, tetapi semua malah bercita-cita dapat diterima kuliah di berbagai universitas Amerika. Produk-produk asal Amerika mulai dari pakaian, makanan cepat saji, minuman ringan maunya KFF, McDonald, Cocacola. Ayam goreng buatan kaki lima? Oh, no way! Kopi kawa? Oh, itu kampungan. Bika Mariana? Nggak gaul.

 

Sekali lagi mengangkat dan mengagungkan rasa nasionalisme bukan berarti Xenophobia atau membeci asing. Sebab kalau memperturutkan Xenophobia bisa-bisa kita menjadi orang pandir dalam pusaran global ini. Sebab kita harus tidak boleh menggunakan komputer dengan program milik Bill Gates atau Apple Machintos. Telepon seluler keluaran Motorola atau Nokia dari Finlandia dan Siemens dari Jerman harus kita haramkan pula. Jangan lupa kalau itu sikap kita, maka permadai dari Siria atau kurma dari Taif Arab Saudi tidak boleh kita konsumsi. Bukan kebencian yang seperti itu yang kita inginkan.

 

 Tetapi bagaimana nasionalisme terus menerus dapat mendorong Indonesia bisa berdiri di kaki sendiri. Jangan sampai jarum penjahit sebiji, kita harus menyembah-nyembah juga ke China untuk mendapatkannya.

 

Semangat nasionalisme yang berlebihan bisa menelurkan ultranasionalisme. Ini berbahaya juga bagi kita sebagai warga dunia. Semangat nasionalisme harus mendorong kita untuk bisa bertahan dari penjajahan-penjajahan baru secara ekonomi.(eko yanche edrie)

Juni 29, 2007 Posted by | politik | Tinggalkan komentar

Diplomasi Duren


 

Diplomasi duren! Itu dicatat benar oleh Marshal Green, Dubes AS di Indonesia yang menggantikan Dubes Howard Jones. Menurutnya duren sangat berbahaya. Dengan ektrem dia menulis dalam bukunya: inilah makan paling menakutkan bagi saya, ini makanan dunia ketiga.

 

Green tak seluwes Howard. Karena itu medio 1965 ia disambut kasar oleh publik Jakarta. Di tembok-tembok para grafiti menulis: Green, go Home! Tapi ada juga yang menulis ketika itu dengan lipstick berbunyi: Green Go Home and take me with you!

 

Kembali ke duuu…ren!

Sebuah perjamuan diplomat diselenggarakan. Bung Karno sepertinya mau ngerjain Marshall. BPI (intel negara waktu itu) rupanya mengendus info paten bahwa Marshal Green paling benci bau duren.

Setelah main toast-toast-an pakai cocktail segala, tiba-tiba pelayan masuk dengan sebaki buah duren. Bung Karno langsung mangalokakan durian ranum itu sembari menyodorkannya ke Marshal. Keruan saja sang dubes cemas. Peluh dinginnya keluar. Kalau ditolak, berarti menyalahi tatakrama diplomat. Kalau dimakan juga amat gawat bagi perut Green. Tapi demi the star spangled banner terpaksa disantung juga buah dunia ketiga yang mungkin saja oleh CIA dianggap kualifikasi bahayanya menyamai gas beracun SS nya Gestapo di Jerman. Beberapa jurus kemudian Green pamit ke belakang untuk muntah-muntah. Bung Karno tersenyum. Sebuah diplomasi cara Sang Fajar yang mengungguli sebuah superpower.

 

Duren bukan sembarang buah yang bisa dilecehkan begitu saja oleh seorang Marshal Green (kelak Green amat terkenang dengan itu, iapun sampai mengusulkan program Marshall Plan untuk pembangunan Indonesia di masa Soeharto)

 

Sampai hari ini pun duren tetap saja dianggap buah diplomasi. Sejak pertengahan 2006 rupanya desakan terhadap Presiden SBY dan Wakil Presiden Jusuf Kalla agar sejumlah menteri diganti. Biasalah, rumusan klasiknya: tak becus. Karena itu diharapkan Presiden mengganti. Yang menteri ekonomi lah, yang menteri kesra lah, yang menteri polkam lah. Pokoknya ganti.

 

Baik Presiden maupun Wapres sama-sama menahan diri untuk berbicara soal reshuffle itu. Sehingga hanya orang-orang di sekeliling Istana saja yang omong bongkar pasang kabinet. Celakanya yang resah justru para menteri.

 

Inilah gaya konvensi SBY. Ahad 15 April ya atau tidaknya reshuffle itu dipublikasi. Tapi Presiden mendahuluinya dengan ‘ritual’ makan duren bersama wartawan. “Ya reshuffle awal Mei” itu saja yang dikatakan Presiden, lalu menikmati duren di kebun duren Warso Farm, Cihideung Bogor Jawa Barat. Para wartawan mangut-manggut. Enam bulan didesak-desak agar Presiden mau mengatakan ya atau tidak untuk reshuffle, eh di parak duren kiranya itu terlontar.

 

Tapi percayalah, bongkar pasang kabinet bukan sesederhana makan duren. Ini menyangkut kepentingan besar. Soal apa dan bagaimana Indonesia ke depan. Jadi tak bisa hanya diputus di kebun duren.

 

Duren boleh jadi buah diplomasi Presiden, tapi jangan sampai hasil rombak kabinet ini yang muncul adalah kabinet duren, enak di bau nya tapi melukai banyak orang kalau digelindingkan.(eko yanche edrie)

Juni 29, 2007 Posted by | sejarah | Tinggalkan komentar

Ssst… ternyata aku sudah 44 tahun


kopral-eko-copy.gif 5 juni ’63 hanyalah hari rabu yang biasa-biasa saja. Tapi sungguh, kata mak dan bapak ketika itulah saya lahir. Beliau merasa bahagia. Hingga berangkat dewasa, senantiasa dibisikkan kepadaku bahwa hidup tidak akan berarti apa-apa jika tak membawa manfaat kepada orang sekeliling. Ya, Allah semoga harap beliau itu senantiasa bisa kuujudkan walau sebesar biji zarrah pun. Terimakasih Allah, terimakasih mak, terimakasih bapak, terimakasih eri beserta tiga permata hati kita (fadhel, fajar dan faridz) terimakasih kawan-kawan dan sahabat semua yang senantiasa memberiku berbagai masukan dan inspirasi.

Juni 5, 2007 Posted by | Uncategorized | 8 Komentar

Memahami Investasi Cara Monyet


Dialog antara Gubernur Sumbar, Gamawan Fauzi dan organisasi kemasyarakatan, pengusaha dan pemuka masyarakat, di Padang Kamis, 31 Mei 2007, lalu, seperti dimuat Haluan Sabtu 2 Juni 2007, cukup menggelitik.
Menurut gubernur, banyak pengusaha mengeluh. Sebab, baru saja memulai investasi dan menjalankan usahanya, mereka langsung dihujani proposal permohonan sumbangan. Itu jadi dilema. Tak dikabulkan, pengusaha bakal mendapat berbagai gangguan. Kalau dikabulkan, jadi beban. “Suasana ini membuat iklim berinvestasi di daerah ini tak kondusif,” katanya.
Ketua Kadin Sumatera Barat, Asnawi Bahar, menambahkan. Katanya, kalangan pengusaha  tak nyaman berinvestasi di daerah ini  bukan hanya karena tingginya permintaan sumbangan tapi juga pungutan liar.
Di luar itu, saya juga teringat pendapat yang pernah dilontarkan Basril Djabar, Ketua Dewan Kehormatan Kadin Sumbar. Katanya, berinvestasi di Sumbar perlu ekstra hati-hati. Sebab, kalau bukan menghadapi perkara bisa dikejar-kejar jaksa. Kalau rugi tanggung sendiri, jika untung dituduh korupsi.
Padahal, kata gubernur, di Singapura sopir taksi saja menjaga pelayan tetamunya. Mereka tak mau mengganggu para tamu karena hal itu akan berdampak buruk terhadap mereka dan negaranya. Mereka sadar benar Singapura dihidupi pengunjung.
Sikap para sopir taksi Singapura seperti diceritakan gubernur mengingatkan saya pada segerombolan monyet (karo) di ujung tikungan jalan Gaung Teluk Bayur, objek wisata yang ramai dikunjungi warga. Selain melihat keindahan laut lepas, ya, pengunjung bisa bermain-main dengan monyet liar itu.
Monyet jadi ramai karena di situ sering mangkal penjual kacang rebus. Kala sepi pengunjung, si penjual kacang bisa tidur-tiduran di depan songgan, wadah kacangnya. Hebatnya, monyet tak mencuri apalagi sampai mengeroyok penjual kacang. Mereka hanya duduk bergerombolan membentuk lingkaran sekitar dua meter dari penjual kacang. Mereka seperti melindungi si penjual kacang yang sesekali melempar satu dua biji kacang. Padahal, dilihat jumlahnya, mereka bisa habisi di penjual kacang itu.
Tapi begitu ada pengunjung yang datang, apalagi membeli kacang,  monyet ini pada berlompatan keluar.  Mereka ramai-ramai menadahkan tangan berharap kacang dari  pengunjung itu. Prilaku inilah rupanya yang disenangi pengunjung. Tapi,  jangan coba bergelagat buruk kepada penjual kacang, monyetnya bisa main tubruk.
Saya yakin, meski tinggal dekat Pelauhan Teluk Bayur, monyet itu tak pernah berlayar dan apalagi belajar dari sopir taksi Singapura seperti diceritakan gubernur. Toh, mereka agaknya mengerti kehadiran investasi. Mereka tak mengeroyok penjual kacang karena hanya akan membuat kenyang sesaat. Esoknya tentu si penjual kacang dan pengunjung, akan jera datang ke sana. Dan, itu sama artinya mengundang kelaparan. Mungkin, karena itu investor, penjual kacang yang jadi sumber rezki tak langsung, harus mereka pelihara supaya rezekinya juga bertahan lama.
Tampaknya, sekali waktu Ketua Kadin Sumbar perlu mengajak investor Singapura ke Gaung itu. Kalau kita bisa dapat pelajaran dari sikap sopir taksi mereka, mana tahu, mereka juga bisa mendapat pelajaran dari monyet kita.fachrul rasyid

Juni 5, 2007 Posted by | isu lokal | Tinggalkan komentar

Warga Kacang Minta Perlindungan


JAKARTA, Haluan

Meskipun mantan Dandim Solok Letkol Inf. Untung Sunanto sudah ditahan untuk kasus kematian Rusman Robert dan anak buahnya juga sudah diperiksa oleh pihak Polisi Militer, masyarakat perantau Kacang yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Besar Nagari Kacang (IKKA) Jabodetabek, meminta pengusutan kasus ini terbuka kepada publik.Jurubicara IKKA Jabodetabek, H. Suhasril kepada wartawan di
Jakarta kemarin meminta pihak berwenang mengusut tuntas kasus ini.
“Atas nama masyarakat Kacang di perantauan, kami mengharapkan masalah ini jangan sampai masuk di depan, keluar di belakang,” kata dia.Ketika wartawan menanyakan apa yang dimaksud dengan istilah ‘masuk di depan keluar di belakang’ itu, Suhasril menyatakan bahwa maksudnya adalah bahwa kasus ini tidak diselesaikan dengan tuntas.IKKA, kata Suhasril, setiap hari senantiasa memantau perkembangan kasus ini dan selalu berkomunikasi dengan masyarakat di kampung halaman. “Kami menyambut baik tindakan Danrem 032/Wirabraja yang telah bertindak cepat menonaktikan kemudian menahan mantan Dandim Solok itu berikut dengan anak buahnya. Tapi itu saja tidak cukup, kami berharap prosesnya hendaknya terbuka,” kata Suhasril.Ia menilai tindakan yang diduga dilakukan oknum perwira menengah dengan anak buahnya itu sungguh cerminan yang tak baik dari militer. Ia nilai ini ujud dari arigansi oknum TNI. “Kalau Man Robert bersalah, apakah setimpal kesalahannya dengan nyawanya yang harus melayang.
Kan kasihan anak-anaknya,” kata dia lagi.
Dalam penjelasannya lebih lanjut, Suhasril juga menjelaskan bahwa IKKA juga sudah menyampaikan sebuah
surat resmi kepaa Kapolda Sumbar, Danrem 032/Wirabraja dan Komandan Detasemen Polisi Militer di Padang . Isi
surat itu adalah permintaan perlindungan hukum untuk menjaga ketenangan masyarakat Kacang.
“Ini
kan persoalan menyangkut tindakan arogan oknum aparat keamanan. Jadi, kami tetap memerlukan perlindungan hukum bagi ketenangan warga kami di kampung halaman,” ujar Suhasril. IKKA menyampaikan
surat bernomor 09/IKKA-DKI/V/2007 itu pada 31 Mei 2007 lalu.
usa

Juni 4, 2007 Posted by | SUMBAR HARI INI | 1 Komentar

Harga Gardamon di Padang Membaik



PADANG, Haluan

Tanaman rempah-rempah tradisional
Indonesia garda mungu atau yang lebih dikenal dengan gardamon, harganya saat ini melonjak tajam baik di pasaran lokal maupun pasar internasional. Bila bia sanya harganya hanya sekitar Rp8000 atau paling mahal hanya sekitar Rp20.000, kini harganya naik menjadi sekitar Rp50.000/kg.

“Saat ini garda mungu, harganya di luar dugaan bisa melonjak tajam menjadi US$ 6,5 per kilogramnya atau sekitar Rp50 ribu. Padahal bia sanya harganya hanya lah se kitar Rp8 ribu atau paling ma hal cuma sampai Rp20 ribu,” ujar Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Sumatra Barat, Asnawi Bahar pada Haluan, Jumat (1/6).

Menurut Asnawi, kenai
kan harga komoditi perkebunan garda mungu tersebut hendaknya bisa menjadi pelajaran berharga bagi para pe tani nasional dan juga lokal agar selalu telaten dalam merawat dan mengembangkan komoditi lahan pertaniannya sehingga bila sewaktu-waktu harganya naik, para petani bisa memetik hasil yang maksimal dari kenaikan harga tersebut.

“Belajar dari hal ini hendaknya para petani kita, begitu harga komoditi pertaniannya jatuh, jangan langsung saja patah semangat dan tidak meneruskan pengembangan komoditi pertaniannya tersebut. Seperti yang terjadi pada garda mungu saat ini, dulu karena harganya murah ba nyak para petani kita yang patah semangat menanamnya. uita

Juni 3, 2007 Posted by | SUMBAR HARI INI | 1 Komentar