WARTAWAN PADANG

Hal ihwal tentang Sumatra Barat

Polisi Bukan Densus 88 (saja)


Oleh: Sarlito Wirawan Sarwono

Detasemen Khusus (Densus) 88 adalah suatu unit khusus dalam Polri yang tugasnya adalah memberantas terorisme. Karena itu nama lengkapnya adalah Densus 88/AT (Anti- Teror).

Mungkin masyarakat Indonesia sendiri banyak yang belum pernah mendengar, tetapi nama Densus 88/AT sudah sangat kondang di antero jagat raya, khususnya setelah Polri berhasil membungkam terorisme dan membongkar jaringannya sejak 2005 sampai hari ini (insya Allah untuk seterusnya).

Suatu prestasi yang luar biasa mengingat di banyak negara lain bom-bom bunuh diri masih berletusan hingga hari ini. Begitu hebatnya citra polisi Indonesia sehingga polisi-polisi Negara maju (Selandia Baru,Australia, Inggris, Jepang, Singapura, bahkan Amerika Serikat), yang hendak belajar tentang cara mengorek informasi tanpa kekerasan dari teroris yang sudah tertangkap atau melacak jaringan telepon seluler (ponsel)/internet dari calon teroris yang bertebaran di seluruh Nusantara, datang ke Indonesia, tepatnya ke Semarang (Pusat Pelatihan Anti-Teror). Bukan itu saja. Polri bahkan sudah mengukir reputasi sebagai polisi terbaik di dunia dalam pemberantasan narkotik, pencegahan perdagangan manusia, pengungkapan kasus pembunuhan (terakhir kasus Antasari),dan pembasmian korupsi.

Namun buat masyarakat awam, yang namanya polisi bukan Densus 88/AT, Badan Narkotika Nasional (BNN),atau Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, melainkan pos-pos polisi, polsek-polsek, Kantor Samsat, dsb, yaitu tempat masyarakat melapor jika ada masalah, mengurus SIM atau STNK, minta surat keterangan kelakuan baik, dan lainlain.

Anggota polisi yang datang ke TKP untuk menyidik suatu perkara pembunuhan atau kecelakaan lalu lintas adalah juga yang dijumpai masyarakat sehari-hari. Begitu juga yang mengatur lalu lintas di jalan raya dan menilang pelanggaran.

Jadi bukannya Komandan Densus 88, Kepala BNN, atau Kepala Bareskrim, apalagi Kapolri yang hebat-hebat itu. Padahal 80% dari polisi-polisi yang melayani masyarakat seharihari itu adalah para bintara yang hanya mengenyam pendidikan SMA plus Sekolah Polisi Negara (SPN).

Sebagian kecil di antara mereka dimasukkan ke dalam pendidikan lanjutan seperti pendidikan kejuruan (lalu lintas, reserse, dsb), tetapi sisanya tidak pernah mendapat pendidikan tambahan sampai mereka pensiun. Tidak mengherankan jika pelayanan Polri kepada masyarakat tidak optimal.

Menyadari kelemahan itu, Kapolri Sutanto telah mencanangkan program Pemolisian Masyarakat (Polmas).Program ini berlaku di seluruh Indonesia,dari kota metropolitan sampai ke pelosok, yang intinya menjadikan polisi bukan hanya pelindung masyarakat terhadap kejahatan,tetapi juga menjadi pengayom dan pelayanan masyarakat serta menjadi pendamping masyarakat dalam melindungi dan mengamankan lingkungan masing- masing.

Jauh sebelumnya, Kapolri Kunarto juga pernah meluncurkan program “Senyum, Sapa, Salam”, yaitu agar setiap anggota polisi bersikap ramah kepada masyarakat yang dilayaninya.Adapun pelanjut Sutanto, yaitu Kapolri Bambang Hendarso Danuri, meluncurkan program Quick Response, yaitu polisi yang didukung peralatan komunikasi yang canggih,mampu datang ke tempat kejadian perkara (TKP) dalam waktu 15 menit sesudah menerima laporan.

Semua program Kapolri-Kapolri itu adalah untuk meningkatkan pelayanan Polri kepada masyarakat,tetapi mengapa tetap saja citra masyarakat terhadap pelayanan Polri masih buruk?

Untuk menjawab pertanyaan itu, semestinya diperlukan penelitian.

Namun, secara kasatmata saja, yakni di mata saya yang sudah bergelut dengan dunia pendidikan kepolisian selama lebih dari 20 tahun, rasanya penyebabnya adalah dalam masalah pendidikan, khususnya untuk anggota bawahan yang jumlahnya 80% dari seluruh anggota Polri itu.

Berpuluh-puluh tahun Polri menjadi bagian dari ABRI yang doktrinnya adalah mengalahkan musuh. Doktrin Sapta Marga (ABRI) lebih utama daripada doktrin Tribrata (Polri). Jadi pada masa itu, rakyat harus taat kepada polisi, bukannya polisi yang melayani kehendak masyarakat karena rakyat dianggap sebagai pihak lain yang merupakan sumber masalah dan kewajiban polisi adalah mengatasi masalah itu.

Dalam kasus Marsinah misalnya (yang terjadi belasan tahun yang lalu),polisi mengendapkan masalah itu karena ada perintah atasan (baca: Mabes ABRI) walaupun semua orang tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diri Marsinah yang wanita pejuang hak buruh itu (dibunuh dan mayatnya dibuang).

Dalam situasi yang seperti ini,polisi bawahan memang tidak perlu belajar apa-apa selain ikut perintah atasan saja. Namun sejak Reformasi (1999), Polri kembali ke khitahnya. Jadi fungsinya pun dikembalikan ke asalnya, yakni melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Fungsi pelayanan jadi sama pentingnya dengan fungsi perlindungan.

Sayangnya hanya fungsi perlindungan (Densus, Brimob, Sabhara, Labfor, dan sejenisnya) yang ditingkatkan sehingga mencapai reputasi internasional, sementara fungsi pelayanan masih jauh tertinggal (walaupun sudah ada upaya, misalnya dengan Samsat keliling dan quick response).

Untuk meningkatkan fungsi pelayanan ini, pendidikan bintara harus diperbanyak.

Setidaknya sama banyak dengan pendidikan perwira. Dalam Polri, setiap anggota yang berpangkat perwira bisa menikmati berbagai macam pendidikan, mulai dari yang sifatnya kedinasan (Selapa, Sespim, Sespati, aneka Dikjur,dsb), yang campuran antara akademis dan kedinasan (PTIK) maupun yang murni akademik (S-2 Ilmu Kepolisian di UI).

Bahkan biaya pendidikan di luar negeri juga tersedia (Dikjur Lantas di Belanda dan Reserse di Jerman) serta pendidikan akademik di berbagai universitas di dunia. Bahkan jenderal yang juga profesor, lulusan doktor dari Amerika Serikat sudah dipunyai oleh Polri.

Di sisi lain, sebagian besar dari anggota polisi bawahan (bintara) tidak pernah mengenyam pendidikan selepas dari pendidikannya di SPN sampai mereka pensiun. Padahal yang ditemui masyarakat sehari-hari ya para bintara ini, bukan Prof Dr Irjen Pol.Wajarlah jika citra Polri tidak naik-naik di mata masyarakat.

Hal lain yang saya kira sangat perlu dipikirkan dalam pengembangan Polri ke depan adalah membangun setiap polda, polres, bahkan polsek sesuai dengan ciri daerah masing-masing (budaya, geografis, dll). Kapolri Da’i Bachtiar pernah mencanangkan konsep local job for local boys.

Maksudnya, polisi Papua ya direktur dari putra Papua, polisi Maluku ya putra Maluku, Aceh yadari Aceh,Jawa Barat ya anak Sunda, dan seterusnya. Jangan semua polisi berasal dari pulau Jawa saja. Namun gagasan ini tidak terlaksana dengan baik karena terbentur kriteria yang berstandar nasional (banyak putra daerah tidak lulus tes saringan sehingga anak-anak dari Pulau Jawa lagi yang lolos).

Bahkan standardisasi gaya pusat (baca: Jakarta) juga terasa di bidang administrasi kepolisian dan pengadaan perlengkapan. Dalam organisasi Polres luar Jawa yang lebih banyak sungainya daripada jalan raya, masih ada Unit Lantas (padahal mobil hanya beberapa gelintir dan jalan raya hanya beberapa kilometer), sementara Unit Air tidak ada sama sekali.

Di tempat lain, di sebuah pulau di lepas pantai Pulau Jawa, ditemukan anggota polisi dengan perlengkapan sepeda motor dan peralatan antihuru-hara. Polri perlu merancang pembangunannya ke depan berda-sarkan kekhasan daerah. Wilayah metropolitan berbeda dari wilayah perdesaan.

Wilayah berhutan belantara berbeda dari yang berciri kepulauan, beda yang padat penduduk dari yang jarang penduduk, yang mayoritas muslim, dari yang mayoritas nonmuslim, yang wilayah pariwisata dari yang pertanian, dan sebagainya.Semua harus mendapat perhatian khusus dalam merancang pembangunan Polri. Dirgahayu Polri.

Penulis: Ketua Program Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia

Sumber: Harian Seputar Indonesia, Rabu 01 Juli 2009

Mei 16, 2010 Posted by | kamtibmas | , , | 5 Komentar

60 Th Satpol PP, dari Penindak ke Pengayom


Oleh: Eko Yanche Edrie

Banyak orang mengira bahwa Satuan Polisi Pamong Praja atau yang dikenal dengan Satpol PP adalah lembaga yang baru dibentuk belakangan ini. Maklum hanya pada akhir-akhir ini saja Satpol PP terlihat aktif terutama berkaitan dengan penertiban di tengah masyarakat. Pada masa-masa sebelumnya yang mengedepan adalah Hansip, Tim Tramtib atau ada di beberapa daerah disebut juga dengan tim SK4.

Padahal, Satuan yang menggunakan badge berlatar kemudi dan tameng berwarna kuning di atas warna biru tua itu tahun ini sudah berusia 60 tahun. Untuk ukuran manusia, itu adalah usia yang tidak bisa dibilang muda lagi. Sudah banyak asam garam yang dimakan dan sudah banyak lekuk-liku jalan yang dilewatinya.

Sejarah Polisi Pamongpraja sesungguhnya sudah sangat tua. Tahun 1620 Gubernur Jenderal VOC membentuk apa yang dinamakan Bailluw. Ini adalah polisi yang bertugas menangani perselisihan hukum yang timbul antara VOC dengan warga kota selain menjaga ketertiban dan ketentraman warga kota.

Pada tahun 1815 Bailluw berganti menjadi Bestuurpolitie atau Polisi Pamong Praja dibentuk dengan tugas membantu pemerintah Kewedanaan untuk melakukan tugas-tugas ketertiban dan keamanan.

Setelah kemerdekaan pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 30 Oktober 1948 membentuk apa yang disebut dengan “Detasemen Polisi Pamong Praja”

Setelah itu baru pada 3 Maret 1950 Lewat Keputusan Mendagri No UR32/2/21/Tahun 1950 dibentuk Satuan Polisi Pamongpraja di seluruh daerah. Tapi baru sepuluh tahun kemudian di luar Jawa Satpol PP baru terbentuk.

Tetapi kenapa Satpol PP menjadi terkenal pada tahun-tahun terakhir ini saja?

Ini dapat dimaklumi karena aktifitasnya yang berdenyut kencang karena sering harus berhadapan dengan suasana tidak enak dimana dikesankan Satpol PP seolah hanya melakukan hal-hal yang represif terhadap masyarakat. Pedagang Kaki Lima, WTS, para hidung belang adalah orang-orang yang sering menjadi urusan Satpol PP. Hal-hal yang dulu banyak ditangani Hansip, sekarang dihandle oleh Satpol PP. Revitalisasi Satpol PP kemudian dilakukan di semua daerah. Dulu memang ada Satpol PP tetapi hanya seragamnya saja yang terlihat, sedang operasi ke lapangan amat jarang terlihat. Sekarang sejalan dengan revitalisasi Satpol PP itu, maka satuan yang bermotto ‘Praja Wibawa’ ini bahkan dibangunkan markasnya, organisasinya juga diperkuat. Bahkan Kepala Satuan Polisi Pamongpraja tingkat Provinsi sejak 2009 diesselonering menjadi pejabat esselon IIa. Bertepatan dengan HUT ke-60 Satpol PP diberlakukan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja sebagai hasil revisi terhadap PP Nomor 32 Tahun 2004. Salah satu peraturan pemerintah tersebut mengatur peningkatan status kelembagaan Satpol PP Provinsi dari eselon II/b menjadi eselon II/a dan Kabupaten/Kota dari eselon III/a menjadi eselon II/b.
Sebegitu pentingnyakah menempatkan pimpinan Satpol PP pada lapis kedua dalam jajaran pemerintahan di Provinsi? Jawabnya: tentu saja!

Seperti diungkapkan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi dalam sambutannya pada HUT ke-60 Satpol PP tahun ini, bahwa satuan polisi pamong praja mempunyai peranan yang sangat strategis dalam menjaga stabilitas keamanan di wilayah NKRI.

“Satpol PP mempunyai tugas dan tanggung jawab dalam mewujudkan ketentraman dan ketertiban masyarakat,” kata Mendagri Gamawan Fauzi yang amanatnya dibacakan oleh para Gubernur, Bupati dan Walikota seluruh Indonesia pada apel HUT Satpol PP.

Dari luar memang terlihat Satpol PP itu urusannya seolah hanya soal pelacur, PKL, Gepeng sampai urusan menggerebek aksi mesum di obyek-obyek wisata. Lalu yang muncul ke permukaan adalah ketegangan pedagang yang tergusur dengan anggota Satpol PP. Seolah-olah Satpol PP hanya bergerak semaunya.

Padahal Satpol PP dalam mengemban tugas dilandasi berbagai pertimbangan, antara lain aspek perencanaan, organsiasi, HAM, pelaporan dan rekruitmen SDM.

Semua aspek tersebut dijadikan sebagai pedoman pelaksanaan tugas, dengan harapan mampu menunjukkan kinerja yang baik, sekaligus mewujudkan ketentraman dan ketertiban umum serta mengayomi masyarakat.
Bahwa dalam praktiknya ada hal yang tidak sesuai dengan tataran ideal normatif memang iya. Mendagri sendiri bahkan mengakui, kesan masyarakat Indonesia terhadap keberadaan dan kinerja satpol masih negatif, sehingga citra dan kewibawaan itu perlu ditingkatkan.

Ada banyak kegiatan dan aksi pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota yang dilakukan. Tetapi juga ada banyak ekses dan dampak yang tak terperkirakan sebelumnya yang menimbulkan disharmoni di tengah masyarakat. Berbagai Perda yang mesti ditegakkan ternyata memiliki residu yang mengganggu. Misalnya ketika ada Perda antimaksiat hendak ditegakkan di pantai Padang ternyata sulit sekali. Pasangan mesum tetap bisa beresek-esek ria di warung tertutup dan setengah tertutup di pantai itu pada malam hari. Warung itu berdiri karena kondisinya memungkinkan, lampu jalan di bagian itu tidak disediakan Pemko Padang. Andai saja di situ terang benderang, maka hasrat untuk beresek-esek ria di warung tersebut akan menghilang. Urusan mengadakan lampu jalan itu adalah urusan pemerintah kota cq SKPD terkait. Tapi ketika Perda antimaksiat ditegakkan, Satpol PP kelabakan. Hari ini digusur, besok tumbuh lagi. Walhasil yang terus menerus bergesekan dengan masyarakat adalah Satpol PP. Padahal kalau saja lampu jalan disediakan, selesai urusannya.

Demikianlah, meskipun salah satu landasan kerja Satpol PP adalah termasuk perencanaan tapi seperti tak berarti sama sekali. Mengadakan lampu jalan sebenarnya bisa dijawab ketika perencanaan pembangunan dibicarakan bersama.

Pedagang-pedagang kaki lima diburu oleh Satpol PP hanya ketika pemerintah sebuah kota sedang menerima ‘tamu’ para tim juri penilai lomba K3 nasional memperebutkan Piala Adipura. Padahal pada bagian lain, ada instrumen Pemerintah Kota yang tidak berjalan yakni Dinas Pasar, Dinas PU, Dinas Perdagangan dan dinas terkait lainnya yang mesti menyediakan lahan khusus bagi pedagang kaki lima. Tapi karena mau enaknya saja, maka pilihan gampang biasanya adalah menjadikan Satpol PP sebagai tumbal. Para anggota satuan itu dimobilisir ke lapangan berhadapan langsung dengan masyarakat. Ketegangan lalu terjadi. Besok-besoknya yang menanggung citra buruknya adalah Satpol PP.

Tetapi bukan bermaksud hendak mengobat-obat hati anggota Satpol PP pada hari ulang tahunnya ke-60 ini, tidak. Tapi sesungguhnya pekerjaan menegakkan wibawa pemerintah daerah dengan cara meneggakkan wibawa Perda yang dilahirkan sungguh merupakan pekerjaan berat. Tidak cukup hanya memberikan markas, kendaraan dan pentungan kepada mereka. Atau memberikan sepucuk pistol untuk Kepala Satuannya. Hal yang mendasar yang perlu diberikan kepada Satpol PP adalah pembinaan menyeluruh. Bahkan dimulai dari rekrutmen. Mestinya rekrutmen Satpol PP harus sama dengan rekrutmen PNS biasa. Atau kalau perlu lebih berat lagi seperti rekrutmen anggota Polri. Lalu karena salah satu fungsi Satpol PP adalah sebagai Pembantu Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPPNS) seyogianya Kepolisian RI juga melakukan pembinaan terus menerus untuk meningkatkan kualitas kepenyidikan Satpol PP. Dalam Siskamswakarsa maka Satpol PP menjadi mitra kepolisian. Tetapi yang banyak terjadi di berbagai provinsi adalah rivalitas antara Polri dan Pol PP. Tak jarang pula terjadi bakuhantam dan bakuserang diantara kedua instansi itu.

Dari sisi internal, Satpol PP mesti terus menerus melakukan kontemplasi (perenungan) dan instrospeksi. Banyak hal yang perlu diperbaiki demi meningkatkan kualitas pelayanan. Tindakan-tindakan tidak senonoh dari oknum anggota mesti makin hari makin dieliminir. Saya tidak tahu apakah dalam tubuh Satpol PP dikenal juga Badan Kehormatan Pamongpraja? Kalau ada tentu akan sangat membantu menegakkan disiplin anggota.

Pencitraan Satpol PP selama ini juga terasa hambar. Satpol PP hanya menumpangkan pencitraannya pada Humas Pemprov atau Humas Kabupaten/Kota. Harusnya ada upaya melakukan pencitraan yang terintegrasi dengan operasional sehari-hari Satpol PP.

Jadi perlu diubah citra Satpol PP dari penindak menjadi penganyom dan pelayan. Kita rindu mendengar ada masyarakat yang mengadu dan bekeluh kesah ke markas Satpol PP untuk minta bantuan, lalu Markas Satpol PP mengirim seregu anggotanya untuk menentramkan orang yang mengadu tadi. Siapa tahu akan ada Satpol PP Kabupaten/Kota yang membuka layanan pengaduan masyarakat ke nomor khusus di markasnya. Di tangan Edi Aradial, yang memimpin Satpol PP tingkat Provinsi agaknya kendali untuk mencitrakan Satpol PP se Sumatera Barat akan bisa diwujudkan. Ia sangat paham dengan kepamongprajaan. Kita tunggu. Dirgahayu Wibawa Praja! (dimuat pada Tabloid DetikNews 15 Maret 2010)

Mei 13, 2010 Posted by | kamtibmas, pemerintahan | , , | Tinggalkan komentar

Duh, lagi-lagi bom


Nyoman, Kami Bersamamu!

Apalagikah yang tersisa di republik ini setelah kenyamanan, keamanan, ketertiban, kehidupan ekonomi yang memadai, kehormatan, kegemahrepahlohjinawian, ketatatentremkertaraharjaan semuanya direnggut?
Sabtu petang yang berdarah di Kuta dan Jimbaran Bali. Semua jualan pariwisata kita yang mengedepankan keramahtamahan, senyum dan sapaan akrab mendadak sontak pudur. Tiga bom diledakkan. 22 nyawa melayang seketika dan 122 orang terluka. Dan jutaan orang Bali terluka hatinya, untuk kedua kalinya setelah tiga tahun yang silam bom serupa mengguncang Legian Kuta.
Orang Bali mungkin tak memahami arti Ramadhan. Tapi kita, saudara-saudaranya yang berjarak jauh beribu-ribu kilometer tetap harus menangis manakala lusa di kaki langit kita menanti hilal Ramadhan mencogok. Kita menangisi Bali, sejumput tanah yang masih masih dianggap menyisakan kedamaian di republik ini, tapi dengan kejam diluluhlantakkan pula oleh sebuah keangkaramukaan.
Kuta yang indah. Nyoman, Made, Ketut, Kadek, Putu, Desak, Ni Luh, Bagus, kami bersamamu.
Kita mungkin belum akan sependapat dengan PM Howard yang subuh buta sudah menuding-nuding kelompok Islam garis keras sebagai pihak yang berada di belakang semua ini.
Sebagai Muslim, tak ada ajaran yang menyebutkan kita harus berada sebarisan dengan kelompok yang melepas bom itu. Tak ajaran bahwa kita harus membunuhi orang yang tidak bersalah. Semua ajaran memberlakukan itu.
Lalu siapa yang mengebom dan apa maksudnya? Entahlah, biarlah aparat keamanan saja yang menjawabnya kelak setelah melakukan penyelidikan.
Yang dapat kita pertanyakan sekarang adalah betapa aparat intel kita senantiasa tertinggal jauh dalam kecepatan baik bergerak maupu menguasai teknologi dibanding dengan teroris.
Tiap kali otoritas intelijen kita berganti, senantiasa dengan janji bahwa mereka akan membawa dunia intelijen kita kepada profesionalitas yang dapat menjawab tantangan zaman.
Hari-hari ini kita menyaksikan bahwa aparat keamanan yang bekerja untuk intelijen kita nyaris dibuat seperti barisan pemadam kebakaran yang datang dengan selang besar setelah api berkobar.
Mantan Presiden Abdurrahman Wahid senantiasa mencela aparat intel kita yang ia nilai lamban. Di zaman dia, sejumlah aksi teror bom juga berlangsung. Lalu dilanjutkan dengan masa Megawati.
Kini Presiden SBY sedang berada pada posisi menghadapi berbagai aksi pembangkangan atas keputusannya yang amat tidak populer: menaikkan harga BBM. Jelas, teror bom ini akan dikait-kaitkan dengan adanya kecurigaan untuk menggoyang kepemimpinan SBY.
Tapi bagi rakyat kecil yang kini sedang hidup dengan nafas senen kemis, apakah dugaa-dugaan itu merupakan kepeduliannya?
Rakyat hanya dapat menangis kini. Menangisi kondisi dan menangisi saudara-saudaranya yang jadi korban bom di Kuta dan Jimbaran.
Seberapa lama lagikah kita menangis?Sebarapa banyak lagikah air mata yang kita punya?

Oktober 4, 2005 Posted by | kamtibmas | Tinggalkan komentar