WARTAWAN PADANG

Hal ihwal tentang Sumatra Barat

UN, Menguji Murid Menguji Guru


Oleh: Eko Yanche Edrie

Silang sengketa apakah UN akan dilaksanakan terus atau di revisi sebagaimana yang dikehendaki putusan Mahkamah Agung tidak menyurutkan rasa tegang para siswa dan orang tua untuk menghadapinya. Soalnya UN sebagaimana sudah digariskan Mendiknas: jalan terus.

Jalan terus artinya kurang lebih sama dengan kerepotan dan ketegangan siswa serta orang tua. Jangan-jangan UN itu kembali hanya sebagai formalitas belaka, sementara faktanya para siswa tidak mengerjakan soal ujian melainkan mengerjakan bocoran ujian.

Bocoran ujian ibarat kentut, selalu saja ada yang tutup hidung karena baunya. Tiapa siapa yang bisa menangkap tangan orang terkentut, apalagi berharap orang terkentut menjadi jujur, mengaku terus terang bahwa dialah yang terkentut.

Begitulah, sejak diterapkannya sistem Ujian Nasional, isu ujian bocor, kunci soal diperjualbelikan menjadi mengemuka. Tak lagi sekedar isu, beberapa bukti kemudian mencuat. Tahun lalu Kepala Sekolah bersama sejumlah guru di Bengkulu ditangkap polisi karena ketahuan membocorkan ujian kepada murid-muridnya.

Anehnya para eksekutif pendidikan seakan ogah untuk mengakui bahwa ada peluang ujian nasional itu untuk dibocorkan. Selain soal etika/moral yang merosot, juga sikap masyarakat yang terpenjara dengan sebuah kata: nilai ujian. Seolah kalau Ujian Nasional gagal, kiamatlah negeri ini. Karena itu semua berusaha memburu kunci bagaimana bisa UN dilewati dengan baik. Perkara jalannya ke kiri atau ke kanan itu soal lain.

Pekan lalu Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat Burhasman Bur sampai ‘mambana’ meminta para orang tua dan siswa yang akan menghadapi UN untuk tidak mempercayai adanya kabar bahwa kunci soal UN sudah beredar dan ditransaksikan secara gelap.

Sebenarnya Burhasman ada benarnya juga. Secara logika, jika mengikuti proses ideal, sangat tipis kemungkinan soal UN itu bisa bocor sampai ke tangan siswa. Karena prosesnya sendiri dari penyusunan soal, kompilasi sampai ke proses cetak senantiasa berada di bawah pengawalan ketat aparat kepolisian. Ketika soal-soal itu sudah selesai dicetak, para pencetakpun masih dikarantina. Sedangkan dokumen soal disegel lalu diangkut ke markas polisi untuk didistribusikan ke sekolah-sekolah, juga di bawah pengawalan ketat.

Sampai di sini, jikapun akan ada yang bocor, sudah bisa bisa diperkecil siapa yang ‘terkentut’. Hanya ada dua kemungkinan, pertama pihak yang mencetak, yang kedua pihak yang mengawal. Namun sejauh ini pada bagian ini belum pernah terungkap adanya oknum yang tertangkap.

Ada kemungkinan lain yang juga patut mendapat perhatian. Ketika soal mulai dibagikan, ada peluang beberapa menit untuk menyalin dengan scanner soal-soal itu, tentu saja oleh sekolah. Soal-soal hasil scanning itu lalu dikerjakan secara cepat oleh guru kemudian dibuatkan kuncinya. Namanya juga tergesa-gesa, maka cukup 80 persen saja yang dikerjakan atau dihitung berdasarkan rumusan syarat kelulusan. Jika soal  itu dijawab dengan benar sebanyak 65 persen, paling tidak siswa sudah memiliki nilai 6,5 dan itu sudah bisa lulus. Kan yang penting lulus UN, lalu sekolah tersebut tercatat sebagai sekolah dengan angka lulusan terbesar. Kepala Sekolah naik daun.

Tapi kemungkinan seperti ini sebenarnya juga amat tipis kemungkinannya. Ada dua hal yang membuat tipisnya peluang kebocoran di periode distribusi soal ini. Pertama jikapun berhasil disalin soal itu, maka guru yang mengerjakan tidak berada di sekolah. Berdasarkan aturan yang ada, semua guru bidang studi yang mata pelajarannya sedang diujinasionalkan hari itu, mesti dirumahkan.

Jika pun masih diupayakan menghubungi guru-guru bidang studi ke rumah masing-masing, maka itu akan memakan waktu yang lama. Sementara waktu ujian terus berlalu. Paling-paling hanya mata pelajaran yang bersifat hafalan saja yang bisa diatasi dengan cara berteleponan itu. Soal-soal eksakta tentu akan memerlukan rumus, grafis dan sebagainya. Saya yakin belum ada setengah persen guru di Sumatera Barat yang sudah amat care dengan perangkat ICT sehingga bisa berkirim-kiriman data elektronis dalam bentuk grafis matematis.

Masih ada rambu-rambu yang membentang dalam periode ini. Di tiap sekolah dikirim pengawas independen dan pengawas lintas-sekolah. Mereka tidak saja mengawasi siswa yang ujian tetapi secara moral tentu saja mengawasi semua proses ujian termasuk tindak-tanduk guru di sekolah tempatnya mengawas itu.

Namun fakta-fakta bicara pada tahun-tahun sebelumnya kunci-kunci itu beredar. Indikatornya; siswa yang oleh semua guru diragukan untuk bisa lulus, malah lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Tak mungkin hanya dengan main tebak, bisa menjawab semua soal yang diujikan.

Walhasil, sekarang sebenarnya tinggal kita berkontemplasi saja. Sebenarnya apa yang ingin kita capai dengan ujian nasional?

Jika perihal kualitas lulusan masih disangkutpautkan dengan proses belajar mengajar, maka perlu kita pertanyakan lagi apakah sertifikasi guru yang diikuti dengan naiknya pendapatan guru itu juga berkorelasi dengan membaiknya sikap siswa dalam menempuh ujian? Jika selama setahun terakhir di kelas terakhir para siswa sudah mendapat pendidikan dari guru-guru yang mengaku bersertifikat (dan hebat) mestinya semangat mengejar kunci dan bocoran soal harus sudah tersisihkan.

Sesungguhnya ujian nasional juga sekaligus menguji kembali seberapa jauh sertifikasi sudah membikin siswa jadi bagus. Guru yang hebat tentu menghasilkan murid yang hebat. Tapi kalau sertifikasi hanya diperoleh dengan cara yang ‘tidak seharusnya’, maka wajar juga muridnya menjadi murid yang ‘tidak seharusnya’

Semangat ambil jalan pintas yang subur sejak di bangku pendidikan, adalah cikal bakal semangat yang sama pada generasi berikutnya. Di sekolah saja sudah berbohong apalagi kalau sudah jadi pemimpin kelak.*** (dimuat pada Editorial Koran digital Padangmedia.com)

Mei 13, 2010 Posted by | pendidkikan | , | Tinggalkan komentar

Pramuka Bajunya, Pramuka Jiwanya


Oleh: Eko Yanche Edrie

 

Lord Baden Powell tak mengharuskan Pramuka di seluruh dunia mengenakan seragam setiap hari tertentu. Bapak kepanduan dunia itu hanya menitipkan pesan kepada anak didiknya untuk senantiasa menjadi anak muda yang tangguh. Jadi anak muda yang pionir. Pramuka itu di depan dalam segala hal yang ideal.

Dalam bahasa kampungnya Baden Powell, Pramuka disebut Scout. Powell memimpikan anak-anak muda yang piawai, cerdik dan dapat mengatasi kesulitan yang dihadapinya sendiri tanpa banyak tergantung pada orang lain.

Bacalah bukunya ‘Aids to Scouting’ sangat sarat mengajarkan tentang bagaimana orang-orang muda berlatih untuk mengatasi berbagai problem hidupnya.

Dari pikiran-pikiran Powell kemudian ditularkan ke seluruh dunia oleh para pengikutnya. Pramuka kemudian dijadikan organisasi atau lembaga yang mencetak dan membentuk anak-anak muda yang penuh karsa. Di luar lembaga sekolah, maka diyakini Pramukalah wahana yang pas untuk membina anak muda.

Gerakan Pramuka secara resmi diperkenalkan kepada seluruh rakyat Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1961.

Tapi seberapa jauh Pramuka sudah mencapai tujuan idealnya di Indonesia?

Kalau Pramuka sudah hebat, tentu Presiden Yudhoyono tidak akan menyentil dalam pidatonya Agustus lalu bahwa perlu revitalisasi Gerakan Pramuka. Jelas Presiden tidak puas dengan apa yang sudah Pramuka hasilkan.

Pembinaan yang sangat penting dan mendasar dilakukan terhadap anggota Pramuka tingkat Siaga (7-10 tahun). Pramuka Siaga merupakan titik awal seorang anak mengenal dunia Pramuka. Tapi seberapa kenalnyakan para pembina, para Majelis Pembina (Mabi) dengan Pramuka? Jangan-jangan yang hafal dua kode kehormatan, yaitu Dwi Satya (janji Pramuka Siaga), dan Dwi Darma (ketentuan moral Pramuka Siaga) hanya tinggal bebarapa Pramuka kecil saja. Sementara Pramuka besar hanya petantang-petenteng berseragam Pramuka setiap hari tertentu.

Jika Pramuka kita sepakati jadi wahana pembentukan sikap ksatria anak-anak kita, maka sudah tepatlah kiranya sentilan Presiden bahwa Pramuka perlu revitalisasi. Saya justru cemas, buku 284 Permainan Siaga yang diterbitkan Kwarnas Pramuka hanya akan dianggap buku jelek saja dibanding buku komik Jepang Doraemon atau komik spy Naruto oleh anak-anak. Padahal di situ banyak permainan dalam Pramuka Siaga yang bentuknya sangat menarik dan mengandung nilai-nilai pendidikan.

Presiden menyentil, maka seyogyanya tak harus hanya Pramuka yang ‘takalenjek’ tetapi semua kita yang menjadi stakeholders Pramuka itu. Perangai buruk yang dijalani orang-orang dewasa sekarang, jangan-jangan karena dulu tidak pernah dididik menjadi Pramuka. Tak ada dalam Pramuka diajarkan korupsi, bersikap angkuh, merasa pintar sendiri, berkuasa sendiri. Pramuka justru mengajari orang-orang bersikap rendah hati tapi tetap siaga dan tangguh.

Maka makin jelaslah, bahwa jangan lihat Pramuka dari bajunya tapi dari hatinya. Sudah Pramukakah hati pemakai seragam Pramuka? Musda Pramuka yang berlangsung hari ini hendaknya mengarifi ini juga. Salam Pramuka!

Oktober 10, 2008 Posted by | pendidkikan | Tinggalkan komentar

Mari Mengeroyok Pemerantasan Buta Aksara


Pertanyaan paling pintar dari orang paling awam saat ini adalah; kenapa pemerintah tak kunjung selesai memberantas buta huruf di negeri ini?

Sekalipun untuk mengakui bahwa upaya pemberantasan buta huruf itu mengalami banyak rintangan, pemerintah pun menghaluskan idiom buta huruf dengan buta aksara. Namun dari waktu ke waktu penduduk yang tidak melek huruf dan angka tetap saja ada.

Tiap kali pergantian tahun anggaran, maka tiap kali pula dicantumkan alokasi anggaran untuk pemberantasan buta aksara dalam anggaran baru. Dan itu sudah berlangsung berpuluh tahun sejak program pemberantasan buta huruf dicanangkan semasa Presiden Soekarno.
Tapi dari waktu ke waktu kita jadi tersadar bahwa tak gampang rupanya membuat orang  buta jadi melek. Tak mudah menghindarkan orang dari kebutaan. Maka dampaknya angka buta aksara Indonesia tak kunjung hilang, meskipun tak ada tren menaik namun cukup menyita pikiran serta bisa memberi ancaman pada merosotnya indeks pembangunan manusia (HDI – Human Development Index) Indonesia.

Data di Biro Pusat Statistik tahun 2005 misalnya, menunjukkan bahwa masih terdapat 15 jutaan penduduk berusia 10 tahun ke atas di Indonesia yang buta huruf. 11 juta orang diantaranya adalah mereka yang berusia 45 tahun ke atas.

Upaya yang dilakukan pemerintah pada tahun lalu, baru berhasil memelekhurufkan sekitar 500an ribu orang saja. Padahal target jangka menengah setidaknya 1,5 juta orang tiap tahun harus bebas buta huruf dari sisa jumlah yang masih belum bisa baca tulis itu.

Kita jadi makin keteter ketika PBB lewat UNDP mulai menerapkan cara menghitung angka indeks pembangunan manusia (IPM atau HDI) dengan mengambil kebutaaksaraan sebagai salah satu variabelnya. Makin tinggi angka buta aksara makin melorot HDI satu negara.

Dua tahun silam UNDP masih meletakkan posisi Indonesia pada urutan ke-111 dari 177 negara. Dengan demikian sungguh panjang dan berat jalan yang akan ditempuh Indonesia untuk menuju angka HDI yang bagus.

Pada beberapa daerah angka buta aksara itu masih cukup besar dan mengontribusi secara signifikan indikator kemiskinan dan keterbelakangan masyarakat. Berbagai penyuluhan dalam rangka memperbaiki taraf hidup yang dilakukan pemerintah justru mengalami kendala lantaran masyarakat yang akan disuluh tidak bisa baca tulis bahasa manapun. Penyuluhan terpaksa dibuat spesifik dengan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh masyarakat setempat.
 
Para penderita HIV AIDS di Papua misalnya diketahui banyak yang tidak bisa baca tulis. Penyuluhan tentang HIV AIDS dilakukan oleh Departemen Kesehatan lebih banyak menggunakan brosur dan sejenisnya. Akibatnya hanya yang bisa baca tulis saja yang mengerti pesan-pesan anti-HIV AIDS.

Dampak lain dari buta aksara dirasakan pada lambatnya upaya peningkatan taraf hidup petani. Di Kabupaten Solok misalnya, Bupati Nurmawan pernah menjadikan pemberantasan buta aksara sebagai salah satu program pertaniannya. Kedengarannya agak aneh kalau Dinas Pertanian mengurus buta huruf. Tapi sang Bupati pada 17 tahun silam itu sudah mendesak semua aparatnya agar tidak mengedepankan egosektoral.

“Sekalipun buta huruf merupakan ‘gawe’nya Dinas Pendidikan tetapi demi kemaslahatan orang banyak, maka semangat egosektoral yang masih menggejala di kalangan birokrasi kita harus disingkirkan. Kata Bupati Nurmawan waktu itu, para penyuluh pertanian mesti berkolaborasi dengan pengelola Kejar Paket A. Tidak boleh dikatakan bahwa kalau PPL memikirkan buta huruf berarti ‘menyukseskan’ programnya orang pendidikan. Sebaliknya jika orang pendidikan  memilih sebuah kelompok tani untuk jadi sasaran bagi program pemberantasan buta aksara tidak berarti ia sedang ‘menyukseskan’ program dinas pertanian.

Inilah sinergi yang dibangun di Kabupaten Solok ketika itu. Buta aksara diberantas bersama. Beban itu ternyata tidak dipikul sendiri oleh Dinas Pendidikan dan tidak hanya menjadi kepentingan sektor pendidikan belaka tapi juga kepentingan sektor pertanian dan bahkan kepentingan sektor lainnya. Dapat dikatakan bahwa pemberantasan buta aksara adalah kepentingan lintassektoral.

Pertanyaan awam pada permulaan tulisan ini agaknya sudah dapat dijawab. Bahwa kalau contoh di lapangan menunjukkan buta aksara dapat ditanggulangi secara lintassektoral, maka masih banyaknya orang yang tidak melek huruf di Indonesia salah satunya disebabkan oleh egosektoral yang terlalu ditonjolkan oleh masing-masing departemen dan dinas-dinas di daerah.

Sekarang jika semua sepakat untuk ‘mengeroyok’ buta aksara maka ada sejumlah langkah yang dapat dilakukan.

Pertama perlu merumuskan lagi upaya pemberantasan buta aksara secara terpadu atau lintassektoral.Ini memerlukan perumusan komitmen baru di tingkat interdept. Paling tidak ini berada di level Menko Kesra. Sangat diperlukan kemampuan Menteri Pendidikan cq Dirjen PLS melobi menteri laian dan menyakinkan sidang-sidang mentri di bawah Menko Kesra. Dengan demikian baru bisa dicapai keterpaduan penuh dari atas.

Keterpaduan itu misalnya dapat dilihat dari adanya kemauan departemen yang tak terkait langsung dengan keaksaraan tapi bisa ikut menyediakan ‘slot’ bagi pemberantasan buta aksara pada program-programnya.

Sekarang kita sentuh juga Markas Besar TNI/Polril. Ada kagiatan TNI Manunggal Masuk Desa, kenapa tidak mintakan saja kepada TNI yang masuk desa itu memberikan ruang bagi pendidikan cepat masyarakat buta aksara?

Kita kini menantikan ‘makan tangan’ Mendiknas Bambang Sudibyo setelah diterbitkannya Inpres No 5 tahun 2006. Inpres itu mengamanatkan bahwa dalam rangka percepatan penuntasan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun dan dalam rangka percepatan pemberantasan buta aksara, agar para menteri, gubernur dan Bupati/Walikota mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing untuk melaksanakan Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara.

Dalam Inpres itu dimintakan semua pihak meningkatkan persentase peserta didik sekolah dasar/madrasah ibtidaiyah/pendidikan yang sederajat terhadap penduduk usia 7-12 tahun atau angka partisipasi murni (APM) sekurangkurangnya menjadi 95 % pada akhir tahun 2008. Dan yang terpenting lagi menurunkan persentase penduduk buta aksara usia 15 tahun ke atas sekurang-kurangnya menjadi 5 % pada akhir tahun 2009.

Ini berarti bahwa soal keterpaduan pemberantasan buta huruf itu sudah ada payung hukumnya. Dengan demikian sebagaimana instruksi presiden No 5 itu, Departemen Pertanian pun bisa dan diberi kewenangan memberantas buta aksara di kalangan petani melalui HKTI. Begitu juga menteri yang lain, Menaker untuk kalangan buruh, Menteri Kelautan dan Perikanan untuk para nelayan dan seterusnya. Sedang Mendiknas akan menjadi penanggung jawab utama dari program ini.

Kedua, keterpaduan itu tidak melulu hanya pada tataran menteri dan kementeriannya tetapi mesti meluas kepada lembaga, organisasi baik pemerintah maupun non-pemerintah (LSM)
Indikator meluasnya upaya pemberantasan buta aksara itu misalnya akan dapat dilihat dari keterlibatan berbagai organisasi memberantas buta aksara. Misalnya, program Kuliah Kerja Nyata (KKN) bisa memasukkan pemberntasan buta aksara sebagai program wajibnya. Mahasiswa tak lagi sekedar memberihkan kampung atau mengajak pemuda bermain bola voli, tetapi selama masa KKN nya harus ‘menghabiskan’ semua penduduk yang terdata sebagai buta huruf. Tiap tahun wilayah KKN itu diarahkan ke desa-desa yang angka buta hurufnya tinggi.

Organisasi Kepemudaan (OKP) juga memiliki program Pengabdian masyarakat. Lewat jalur Menteri Negara Pemuda dan Olahraga dan Ketua KNPI rasanya tak sulit menyisipkan program pemberantasan buta huruf dalam program pengabdian masyarakatnya.
Begitu juga dengan Pramuka dan Karang Taruna, akan berpotensi besar mempercepat melek huruf dan angka masyarakat yang masih buta aksara.

Ketiga, harus ada ketegasan bahwa Wajib Belajar 9 Tahun tida boleh ada drop out apalagi sampai ada yang tak terjaring alias tidak sekolah sama sekali. Angka kegagalan Wajar 9 Tahun setiap tahun akan ekuivalen dengan pertambahan angka buta aksara. Mereka yang tak bersekolah hampir bisa dipatikan semuanya tak bisa baca tulis.

Ini berarti, pekerjaan Dirjen Dikdasmen tidak boleh lagi ‘bersisa’ sehingga Dirjen PLS tidak lagi harus menjadi tim penyapu. Kelak Dirjen PLS benar-benar mengurus pendidikan luar sekolah, pemuda dan olah raga saja.

Keempat, dengan payung hukum Inpres  No 5, seharusnyalah mulai digelorakan budaya malu atas kebutaaksaraan. Bupati/Walikota dan Gubernur akan malu besar jika warganya masih ada yang tak bisa baca tulis. Seterusnya Camat, Kepala Desa juga malu kalau warganya ada yang buta huruf. Pada akhirnya semua keluarga Indonesia akan bertanggung jawab memelekhurufkan anggota keluarganya yang buta huruf.

Media massa sudah semestinya ikut andil menggelorakan semangat antibuta huruf ini. Makin banyak orang yang melek huruf, semakin besar peluang media massa dibaca dan ditonton. Pesan-pesan akan sampai ke masyarakat, jika semua sudah bisa membaca dan menulis.
.
ueko yanche edrie

Juli 31, 2007 Posted by | pendidkikan | 9 Komentar

‘Mengeroyok’ PAUD Demi Bersinarnya Golden Age


1.Kesederhanaan, membuat orang tuanya juga memberi nama sederhana kepadanya. Imun, begitu singkat namanya adalah bocah perempuan dari daerah perbatasan Sumbar – Jambi tinggal tak jauh dari sisi jalan Lintas Sumatra yang hanya ramai oleh bunyi knalpot truk dan bus jarak jauh antarprovinsi.Dalam  usia 4 tahun ia bermain-main dengan anjing piaraan ayahnya. Namanya kanak-kanak balita, menangkap apa yang dilihat dan didengarnya. Pelajaran melompat atau menggerak-gerakkan pantatnya, memang ia peroleh dari anjing teman bermainnya itu. Jangan-jangan setelah itu ia juga belajar menggigit dari anjing itu pula. Mak!***  2.Dua bocah perempuan, dengan rambut dikuncir dua berlarian menuju gerbang play group Adzkia di kawasan Gelanggang Olah Raga H. Agussallim Padang. Tubuhnya padat berisi, matanya bundar dan jernih bak mata kelinci. Tak lama kemudian mereka berbaur dalam kerumunan kana-kanak lain temannya sesama warga play group. Mereka lalu belajar bernyanyi, belajar tentang agama. Guru-guru menceritakan kepada mereka tentang burung yang bisa terbang, pesawat udara, kapal dan kereta api. Hingga siang mereka puas bermain bersama sambil belajar hal-hal dasar. Lengkaplah kebahagiaan orang tua mereka.***  Kedua fragmen di atas adalah langit dan buminya nasib kanak-kanak balita (bawah lima tahun) di berbagai belahan pulau di Indonesia. Yang satu amat berkekurangan yang lain amat berkecukupan. Yang satu tumbuh tergantung musim, yang satu tumbuh teratur dengan pupukan ilmu pengetahuan yang cukup.

Mereka, sepuluh atau dua puluh tahun mendatang akan menjadi variabel-variabel penentu angka-angka Human Development Index (HDI) negeri dengan penduduk hampir seperempat miliar ini. Tahun 2005 saja, HDI Indonesia masih berada pada posisi 111 dari 177 negara.

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) tiba-tiba menyentak kita untuk memikirkan apa pengaruhnya bagi kehidupan bangsa ke depan kalau tidak dilaksanakan. Menurut data BPS 2004, tingkat pendidikan masyarakat Indonesia masih relatif rendah.  Rata-rata  lama  sekolah penduduk usia 15 > baru  7,1 tahun. Angka itu masih dipersedih oleh adanya buta aksara  pada penduduk usia 15 >  sebanyak 14,7 juta (9,55%) (Susenas BPS          2005)

Sementara penduduk usia sekolah  (7 – 24 thn) ada sebanyak 76 juta orang, hampir separuhnya (40%) tidak bersekolah (Pusat Informasi Balitbang Diknas, 2004)Bagaimana dengan kondisi kanak-kanak seperti Imun dan kawan-kawannya di atas?Kanak-kanak seusia dia ternyata baru seperempatnya saja di Indonesia yang dapat disentuh oleh Pendidikan Anak Usia Dini. Jumlah anak berusia hingga enam tahun itu ada sekitar 28 juta anak.

28 juta anak itu bukan angka yang kecil, tetapi signifikansinya sangat tinggi untuk mengubah dan menentukan jalannya republik ini pada 20 atau 30 tahun mendatang.Mata kelinci mereka yang lucu-lucu jika tidak disentuh pendidikan pada usia dini, kelak akan berubah jadi mata beringas, merah dan menyala. Mereka bisa berubah ganas dan destruktif jika salah sentuh atau tak disentuh sama sekali dengan pendidikan-pendidikan yang lebih awal.

Masa usia nol hingga enam tahun sering disebut sebagai masa keemasan atau golden age. Soalnya sekarang adalah golden ege itu memang mereka –kanak-kanak—lewati, Cuma seberapa bersinarkah masa keemasan itu?

Tidakkah masa itu dilewati macam Imun dan kawan-kawannya di semak belukar yang suram. Atau di komplek-komplek pelacuran, di pesisir pantai yang sarat bau amis ikan nelayan?

Seberapa banyak kanak-kanak Indonesia yang sempat disentuh oleh PADU? Inilah persoalan kita. Di atas kertas pemerintah sudah mengancar-ancar bahwa hingga 2009 paling tidak 35 persen dari hampir 12 juta anak usia 2 hingga 4 tahun dapat menikmati layanan pendidikan anak usia dini.

Di atas kertas?Ya! Karena kita tahu belaka seberapa besar tingkat ketersebaran sarana dan prasarana PAUD di Indonesia? Apalagi kalau yang hendak dituju oleh ancar-ancar pemerintah itu adalah layanan PAUD non-formal. PAUD non-formal adalah semacam Kelompok Bermain, Pos PAUD, Bina Keluarga Balita, sanggar balita dan sejenisnya. Khalayak dapat memahami bahwa keterlibatan swasta dalam membentuk lembaga-lembaga PAUD non-formal itu pastilah lebih banyak dalam rangka membisniskan pendidikan. Hanya para relawan saja yang benar-benar mau dengan sukarela meluangkan waktu, pikiran dan dananya untuk membuka lembaga-lembaga PAUD.

Orang-orang berduit lebih suka membangun TK dan Play Group untuk segmen kelas menengah ke atas, dimana uang tidaklah terlalu dihitung benar oleh orang tua. Asal anak mereka bisa mendapat pendidikan dini yang memadai, mereka mau mengeluarkan uang berapapun.

 Berbeda dengan  kanak-kanak yang orang tuanya masuk kategori miskin. Yang banyak bersua itu adalah, sudahlah berada di lingkungan keluarga miskin, di tempat itu juga tidak ada lembaga pendidikan anak usia dini. Tak ada kelompok bermain, tak ada Pos PAUD apalagi play group.

Dapat kita katakan bahwa urusan ini amat berat. Ditjen PLS cq Direktorat PAUD boleh jadi terus mengampanyekan peningkatan mutu dan daya saing serta tata kelola PAUD. Tetapi yang jauh lebih berat untuk dicarikan upaya pemecahan jalan keluarnya adalah bagaimana sebuah direktorat jenderal seperti Ditjen PLS bisa mengajak serta institusi lain di luar Departemen Diknas untuk bersama-sama memberi perhatian kepada PAUD.Urusan ini mesti ditangani secara lintas sektoral, tak bisa hanya Depdiknas saja. Apalagi jika muncul pula semangat egosektoral, maka alamat program memberikan pendidikan secara lebih dini kepada Balita Indonesia hanya akan jadi lagu sedih yang tak kunjung usai dan selesai.

Apalagi PAUD adalah hal yang juga diisyaratkan untuk diejawantahkan dalam bentuk program nyata oleh UU No 20/2003 tentang Sisdiknas. Pada salah satu pasalnya dinyatakan bahwa pendidikan menjelang Sekolah Dasar adalah pendidikan usia dini yang diselenggarakan secara formal dan non-formal. Jika itu diselenggarakan secara formal maka namanya adalah Taman Kanak-kanak (TK) dan Raudhatul Athfal (RA) sementara untuk yang non-formal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA)Yang kita kenal banyak adalah lembaga yang formal. Sebagaimana sudah dikemukakan di atas, untuk yang formal ini sangat menghendaki kecukupan pembiayaan. Maka agar tidak terjadi kekosangan waktu didik lantaran tak ada TK dan RA, masyarakat dianjurkan membentuk lembaga PAUD non-formal. Misalnya itu tadi, Kelompok Bermain maupun Taman Penitipan Anak dan sejenisnya.

Upaya pemerintah untuk menyediakan lembaga-lembaga PAUD dicerminkan dengan alokasi anggaran untuk PADU. Tahun ini misalnya paling tidak terdapat dalam APBN alokasi PAUD sebesar hampir Rp200 miliar.

Dana itu jelas masih jauh dari cukup jika memang hendak menyelesaikan PAUD bagi 28 juta anak. Maka hanya ada satu kata sekarang: ‘keroyoklah’ PAUD. Keikutsertaan masyarakat serta lintassektoral sangat diperlukan. Ditjen PLS harus makin aktif mengajak berbagai organisasi massa, organisasi sosial, organisasi fungsional, organisasi profesi bahkan organisasi politik pun untuk mau terjun meluangkan waktu memperhatikan lembaga PAUD non-formal. Bahkan organisas-organisasi itu patut diajak mendirikan sebanyak-banyak lembaga PAUD non-formal di daerah-daerah yang belum bisa dijangkau PAUD formal.

Pengeroyokan terhadap PAUD non-formal merupakan pengejawantahan tekad bersama untuk mewariskan negeri ini dalam kondisi ‘siap pakai’ kepada generasi berikutnya.

Sekali saja kita yang hidup hari ini menyia-nyiakan golden age dari kanak-kanak Indonesia, maka selamanya kita akan disesali oleh mereka yang akan hidup 20, 30, 40 tahun berikutnya. Bahkan selamanya kita akan disesali sebagai nenek moyang yang hanya mau mementingkan dirinya sendiri.(eko yanche edrie)

Juni 29, 2007 Posted by | pendidkikan | 4 Komentar

Buta Huruf, Berhentilah Jadi Pemadam Kebakaran


SENTANA semua orang mengingat kembali pada turunnya wahyu pertama dengan kata-kata ‘Iqra’ maka keyakinan bahwa melek huruf adalah bagian dari suruhan Illahi akan dijadikan dasar-dasar memerangi kebodohan di seluruh dunia.Sebuah kontradiksi, wahyu diturunkan Allah kepada RasulNya yang (padahal) seorang buta huruf. Dan kita harus yakin bahwa kontradiksi itu adalah kehendak Allah jua, agar tak setitikpun wahyu yang aksaranya disimpangkan oleh penerima. Lalu wahyu itupun disyi’arkan ke seluruh penjuru dunia. Intinya, membaca adalah gerbang menuju cakrawala dunia dan cakrawala ilmu.Tapi fakta akhirnya menunjukkan kelak di kemudian hari setelah 14 abad berlalu tetap saja masih semilyar orang yang tidak bisa membaca. Masih banyak saja orang-orang yang buta huruf, baik latin, arab, kanji dan sebagainya. Dapat dibayangkan bagaimana mungkin jutaan orang tadi dapat memasuki atau melihat cakrawala dunia dan ilmu pengetahuan untuk mempertahankan hidup dan mengisi kehidupannya dengan baik. Bagaimana mungkin mereka bisa mengakses pengetahuan-pengetahuan yang dapat membantu kehidupan mereka?  Sementara hampir seluruh ilmu dan pengetahuan diterakan dengan aksara.

Dari tahun ke tahun perang terhadap buta aksara terus dilancarkan oleh manusia di berbagai belahan dunia. Bagaimana tidak, lantaran dari tahun ke tahun angka buta huruf tidak kunjung habis. Selesai satu sesi pengentasan buta huruf, datang lagi generasi buta huruf berikutnya.

Kini, seperti dikutip Sekjen Biro Asia Pasifik Selatan untuk Pendidikan Orang Dewasa (ASPBAE) Maria Lourdes A Khan, terdapat 1 milyar manusia di muka bumi yang tak bisa baca tulis.

Badan Internasional seperti UNDP pada tahun 2000 saja mencatat  tingkat kemelekan huruf bagi orang dewasa yang mendekati 100 persen hanya ada di negara-negara maju.
Australia, Jepang, Inggris, Jerman, dan AS umumnya sudah mencapai 99,0%.
Di mana posisi
Indonesia? Negeri ini baru mencapai 65,5 persen (angka tahun 2000 versi UNDP) Artinya terdapat lebih sepertiga penduduk dewasa tidak bisa baca tulis. Angka itu memposisikan
Indonesiapada ranking ke 96 dalam kemelekhurufan. Bandingkan dengan
Malaysiayang tingkat buta hurufnya kini tinggal kurang dari seperlima penduduk atau lebih 80 persen sudah bebas dari buta huruf.
Masih menurut dokumen UNDP yang dikutip dikutip Ki Supriyoko dalam Kompas, (2/7/2003)  warga buta huruf masih sangat banyak ditemukan di negara berkembang. Asia Selatan, Arab dan Afrika Sub-Sahara merupakan kawasan negara yang tingkat buta aksaranya berkisar 40% hingga 50%. Yang terendah di Afrika yang kemelekhurufannya di bawah 20%, misalnya
Maliperingkat 175 (19,0%),
Niger176 (14,4%) dan Burkina Faso 177 (12,8%).
Darai angka-angka yang diterakan di atas, Sumatra Barat sebagai salah satu bagian dari
Indonesia, secara rata-rata masih baik. Gubernur Gamawan Fauzi mengekspos di hadapan anggota DPRD belum lama ini bahwa angka buta huruf di Sumatra Barat adakah sekitar 9,9 persen.
Angka ini jauh lebih baik dibanding sejumlah provinsi lain. Secara rata-rata nasional angka buta huruf menurut Mendiknas saat rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR RI akhir Februari lalu, adalah 10 persen.l Targetnya angka itu akan diturunkan menjadi 5 persen. Target itu kurang lebih sama dengan target dunia yang digariskan UNDP.

Terasa lamban sekali jalannya upaya pemberantasan buta huruf ini. Sekalipun kini sudah akan dibuat Inpres tentang Pemberantasan Buta Huruf.

Perang terhadap buta huruf di
Indonesiadimulai sejak republik ini lahir. Ketika itu Bung Hatta amat prihatin bahwa sebagai negara baru,
Indonesiamenghadapi kenyataan hanya sepersepuluh penduduknya yang bisa membaca dan menulis.

Departemen Pendidikan Nasional yang ketika itu masih bernama Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan menyelenggarakan apa yang dikenal dengan ‘Pemberantasan Buta Huruf’ PBH alias Kursus ABC.

Targetnya cukup muluk, dalam sepuluh tahun sudah tidak ada lagi penduduk yang tak bisa membaca dan menulis. Sayangnya hanya tercapai 40 persen saja. Mestinya itu sudah lumayan, tetapi celakanya muncul lagi tuna aksara baru. Kondisi perekonomian dan pergolakan politik maupun pergolakan militer dari waktu ke waktu membuat upaya membangun dunia pendidikan jadi terhalang.

Tapi perang tidak pernah usai. Seribu orang dibebaskan dari buta huruf, seribu orang buta huruf baru muncul. Begitulah terus menerus hingga masa orde baru. PBH tak laku lagi, diganti dengan Kejar Paket (Kelompok Belajar Paket A dan B) Intinya sama saja, membuat rakyat yang tak bisa baca tulis menjadi bisa baca tulis. Milyaran dana sudah dikucurkan untuk itu.

Sepertinya jika tiap tahun dialokasikan anggaran untuk memberantas buta huruf dan buta hurufnya masih tidak berhenti-berhenti juga, patutlah kita bertanya apa yang salah dalam program ini? Apakah angka buta hurufnya sengaja dipertahankan antara 0 sampai 10 persen agar proyek terus menerus ada?

Berbagai statement dimunculkan. Tapi lebih banyak hanya untuk memberi ketegasan bahwa buta huruf telah membuat pihak melek huruf jadi repot. PM Malsyaia Abdullah Badawi pekan lalu memberi pernyataan bahwa dunia Islam di seluruh muka bumi jadi tertinggal dari non-Islam lantaran banyaknya buta huruf.

Perang terhadap buta huruf masih sangat struktural. Keterlibatan masyarakat dalam pemberantasan buta huruf tidak terlalu terlihat atau nyaris tak terdengar sama sekali.  

Dan seperti disebut di atas tadi bahwa seolah-olah proyek memberantas buta huruf tiada akan ada perhentiannya. Program (baca: proyek) jalan terus tapi yang buta huruf terus menerus tumbuh secara generatif.

Maka jadilah kita seperti Barisan Pemadam Kebakaran. Kita muncul ketika api sudah berkobar dan memadamkannya. Unit pemadam kebakaran itu dibiayai dengan anggaran yang besar. Padahal  kalau saja akar masalahnya dipegang, paling tidak cap bahwa program pemberantasan buta huruf hanya struktural bisa dihapus.

Sumber-sumber kebutahurufan harus diberangus terlebih dulu. Jika Wajib Belajar (Wajar) Sembilan Tahun sudah diterapkan secara sungguh-sungguh, rasanya tak perlu repot-repot membuat program pengentasan buta huruf sepanjang tahun. Tak perlu harus ada Inpres. Kalaupun ada Inpres, cukup untuk menekan sisa angka buta huruf yang masih ada.

Wajar 9 Tahun haruslah ‘digasak’ terus menerus hingga tidak ada satupun anak
Indonesiayang tidak bersekolah. Logikanya kalau semua sudah bersekolah sembilan tahun dan masih tidak bisa baca tulis, ini sungguh keterlaluan.

‘Menggasak’ Wajar sembilan tahun adalah dengan mempertinggi tingkat partisipasi peserta didik hingga 100 persen dari anak usia sekolah. Lalu juga ‘menggasak’ Wajar sembilan tahun untuk menghentikan angka drop-out peserta didik.

Kalau semua sudah mengenyam bangku sekolah dan sudah bebas dari buta aksara, maka urusan buta aksara dapat kita geser dari inti masalah republik menjadi masalah remeh temeh belaka. Lalu kita berhenti jadi ‘pemadam kebakaran’ karena sumber apinya sudah kita cegah.(eko yanche edrie)

Oktober 15, 2006 Posted by | pendidkikan | 2 Komentar

Buta Huruf, Berhentilah Jadi Pemadam Kebakaran


  • MENJELANG HARDIKNAS 2 MEI 2006
    Buta Huruf, Berhentilah Jadi Pemadam KebakaranSENTANA semua orang mengingat kembali pada turunnya wahyu pertama dengan kata-kata ‘Iqra’ maka keyakinan bahwa melek huruf adalah bagian dari suruhan Illahi akan dijadikan dasar-dasar memerangi kebodohan di seluruh dunia.
    Sebuah kontradiksi, wahyu diturunkan Allah kepada RasulNya yang (padahal) seorang buta huruf. Dan kita harus yakin bahwa kontradiksi itu adalah kehendak Allah jua, agar tak setitikpun wahyu yang aksaranya disimpangkan oleh penerima. Lalu wahyu itupun disyi’arkan ke seluruh penjuru dunia. Intinya, membaca adalah gerbang menuju cakrawala dunia dan cakrawala ilmu.
    Tapi fakta akhirnya menunjukkan kelak di kemudian hari setelah 14 abad berlalu tetap saja masih semilyar orang yang tidak bisa membaca. Masih banyak saja orang-orang yang buta huruf, baik latin, arab, kanji dan sebagainya. Dapat dibayangkan bagaimana mungkin jutaan orang tadi dapat memasuki atau melihat cakrawala dunia dan ilmu pengetahuan untuk mempertahankan hidup dan mengisi kehidupannya dengan baik. Bagaimana mungkin mereka bisa mengakses pengetahuan-pengetahuan yang dapat membantu kehidupan mereka? Sementara hampir seluruh ilmu dan pengetahuan diterakan dengan aksara.
    Dari tahun ke tahun perang terhadap buta aksara terus dilancarkan oleh manusia di berbagai belahan dunia. Bagaimana tidak, lantaran dari tahun ke tahun angka buta huruf tidak kunjung habis. Selesai satu sesi pengentasan buta huruf, datang lagi generasi buta
    huruf berikutnya.
    Kini, seperti dikutip Sekjen Biro Asia Pasifik Selatan untuk Pendidikan Orang Dewasa (ASPBAE) Maria Lourdes A Khan, terdapat 1 milyar manusia di muka bumi yang tak bisa baca tulis.
    Badan Internasional seperti UNDP pada tahun 2000 saja mencatat tingkat kemelekan huruf bagi orang dewasa yang mendekati 100 persen hanya ada di negara-negara maju. Australia, Jepang, Inggris, Jerman, dan AS umumnya sudah mencapai 99,0%.
    Di mana posisi Indonesia? Negeri ini baru mencapai 65,5 persen (angka tahun 2000 versi UNDP) Artinya terdapat lebih sepertiga penduduk dewasa tidak bisa baca tulis. Angka itu memposisikan Indonesia pada ranking ke 96 dalam kemelekhurufan. Bandingkan dengan Malaysia yang tingkat buta hurufnya kini tinggal kurang dari seperlima penduduk atau lebih 80 persen sudah bebas dari buta huruf.
    Masih menurut dokumen UNDP yang dikutip dikutip Ki Supriyoko dalam Kompas, (2/7/2003) warga buta huruf masih sangat banyak ditemukan di negara berkembang. Asia Selatan, Arab dan Afrika Sub-Sahara merupakan kawasan negara yang tingkat buta aksaranya berkisar 40% hingga 50%. Yang terendah di Afrika yang kemelekhurufannya di bawah 20%, misalnya Mali peringkat 175 (19,0%), Niger 176 (14,4%) dan Burkina Faso 177 (12,8%).
    Darai angka-angka yang diterakan di atas, Sumatra Barat sebagai salah satu bagian dari Indonesia, secara rata-rata masih baik. Gubernur Gamawan Fauzi mengekspos di hadapan anggota DPRD belum lama ini bahwa angka buta huruf di Sumatra Barat adakah sekitar 9,9 persen.
    Angka ini jauh lebih baik dibanding sejumlah provinsi lain. Secara rata-rata nasional angka buta huruf menurut Mendiknas saat rapat dengar pendapat dengan Komisi X DPR RI akhir Februari lalu, adalah 10 persen.l Targetnya angka itu akan diturunkan menjadi 5 persen. Target itu kurang lebih sama dengan target dunia yang digariskan UNDP.
    Terasa lamban sekali jalannya upaya pemberantasan buta huruf ini. Sekalipun kini sudah akan dibuat Inpres tentang Pemberantasan Buta Huruf.
    Perang terhadap buta huruf di Indonesia dimulai sejak republik ini lahir. Ketika itu Bung Hatta amat prihatin bahwa sebagai negara baru, Indonesia menghadapi kenyataan hanya sepersepuluh penduduknya yang bisa membaca dan menulis.
    Departemen Pendidikan Nasional yang ketika itu masih bernama Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan menyelenggarakan apa yang dikenal dengan ‘Pemberantasan Buta Huruf’ PBH alias Kursus ABC.
    Targetnya cukup muluk, dalam sepuluh tahun sudah tidak ada lagi penduduk yang tak bisa membaca dan menulis. Sayangnya hanya tercapai 40 persen saja. Mestinya itu sudah lumayan, tetapi celakanya muncul lagi tuna aksara baru. Kondisi perekonomian dan pergolakan politik maupun pergolakan militer dari waktu ke waktu membuat upaya membangun dunia pendidikan jadi terhalang.
    Tapi perang tidak pernah usai. Seribu orang dibebaskan dari buta huruf, seribu orang buta huruf baru muncul. Begitulah terus menerus hingga masa orde baru. PBH tak laku lagi, diganti dengan Kejar Paket (Kelompok Belajar Paket A dan B) Intinya sama saja, membuat rakyat yang tak bisa baca tulis menjadi bisa baca tulis. Milyaran dana sudah dikucurkan untuk itu.
    Sepertinya jika tiap tahun dialokasikan anggaran untuk memberantas buta huruf dan buta hurufnya masih tidak berhenti-berhenti juga, patutlah kita bertanya apa yang salah dalam program ini? Apakah angka buta hurufnya sengaja dipertahankan antara 0 sampai 10 persen agar proyek terus menerus ada?
    Berbagai statement dimunculkan. Tapi lebih banyak hanya untuk memberi ketegasan bahwa buta huruf telah membuat pihak melek huruf jadi repot. PM Malsyaia Abdullah Badawi pekan lalu memberi pernyataan bahwa dunia Islam di seluruh muka bumi jadi tertinggal dari non-Islam lantaran banyaknya buta huruf.
    Perang terhadap buta huruf masih sangat struktural. Keterlibatan masyarakat dalam pemberantasan buta huruf tidak terlalu terlihat atau nyaris tak terdengar sama sekali.
    Dan seperti disebut di atas tadi bahwa seolah-olah proyek memberantas buta huruf tiada akan ada perhentiannya. Program (baca: proyek) jalan terus tapi yang buta huruf terus menerus tumbuh secara generatif.
    Maka jadilah kita seperti Barisan Pemadam Kebakaran. Kita muncul ketika api sudah berkobar dan memadamkannya. Unit pemadam kebakaran itu dibiayai dengan anggaran yang besar. Padahal kalau saja akar masalahnya dipegang, paling tidak cap bahwa program pemberantasan buta huruf hanya struktural bisa dihapus.
    Sumber-sumber kebutahurufan harus diberangus terlebih dulu. Jika Wajib Belajar (Wajar) Sembilan Tahun sudah diterapkan secara sungguh-sungguh, rasanya tak perlu repot-repot membuat program pengentasan buta huruf sepanjang tahun. Tak perlu harus ada Inpres. Kalaupun ada Inpres, cukup untuk menekan sisa angka buta huruf yang masih ada.
    Wajar 9 Tahun haruslah ‘digasak’ terus menerus hingga tidak ada satupun anak Indonesia yang tidak bersekolah. Logikanya kalau semua sudah bersekolah sembilan tahun dan masih tidak bisa baca tulis, ini sungguh keterlaluan.
    ‘Menggasak’ Wajar sembilan tahun adalah dengan mempertinggi tingkat partisipasi peserta didik hingga 100 persen dari anak usia sekolah. Lalu juga ‘menggasak’ Wajar sembilan tahun untuk menghentikan angka drop-out peserta didik.
    Kalau semua sudah mengenyam bangku sekolah dan sudah bebas dari buta aksara, maka urusan buta aksara dapat kita geser dari inti masalah republik menjadi masalah remeh temeh belaka. Lalu kita berhenti jadi ‘pemadam kebakaran’ karena sumber apinya sudah kita cegah.(eko yanche edrie)

Mei 5, 2006 Posted by | pendidkikan | Tinggalkan komentar