WARTAWAN PADANG

Hal ihwal tentang Sumatra Barat

Peran Daerah, Hutan Carbon dan Hutan Cerobong


Oleh: Eko Yanche Edrie

 

Dituduh menjadi penyumbang emisi gas buang terbanyak lantaran membakari hutan sekaligus menggunduli paru-paru dunia memang tidak enak. Indonesia dituduh telah melubangi ozon dan secara signifikan mempercepat pencairan es di kutub bumi karena tidak bisa memelihara hutan miliknya sendiri. Sekali lagi miliknya sendiri!

Padahal seperti dinyatakan oleh peneliti lingkungan UGM, Sunyoto (Antara, 2/11) kebakaran hutan tidak terlalu signifikan sebagai penyumbang emisi gas buang. Amerika yang jelas-jelas mengontribusi seperti emisi gas buang dari cerobong-cerobong pabrik dan industrinya mencoba taktik lempar batu sembunyi tangan.

Karena itu pada Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Bali, 3-14 Desember 2007 semestinya merupakan peluang untuk kita menunjukkan bahwa Indonesia adalah pencinta lingkungan, bukan sebaliknya seperti fitnah yang dilempar Amerika.

Sebagai sebuah pleedoi atas tuduhan tak berdasar itu, harus kita nyatakan bahwa negeri agraris seperti Indonesia justru memiliki potensi paling besar mereduksi emisi gas buang. Ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa Indonesia memiliki hutan yang cukup signifikan mereduksi gas buang dari negeri-negeri industri.

Kenyataan ini pula yang harus dikampanyekan sekaligus diperjuangkan para anggota delegasi Indonesia di UNFCCC untuk dapat pengakuan dunia.

Seperti diamanatkan oleh Protokol Kyoto yang mengacu kesamaan pandang tentang pemanasan global, maka tiap-tiap negara termasuk AS dan Indonesia juga sepakat meratifikasinya pada masing-masing konstitusinya. Intinya, negara yang menyepakati hal ini, berkomitmen untuk mereduksi emisi karbon dioksida serta lima gas rumah kaca lainnya.

Kesepakatan bersama itu ditambah pula dengan komitmen untuk bekerjasama dalam perdagangan emisi. Apa yang dikenal dengan carbon trade adalah pembayaran oleh nagara yang memproduksi gas buang terhadap negara yang menjaga hutannya/lingkungannya untuk mereduksi emisi gas buang.

Dalam bahasa yang sederhana, jika indonesia memiliki hutan yang asri, maka AS atau Jepang yang memiliki ‘hutan cerobong’ dari pabrik-pabriknya harus membayar kepada Indonesia. Terakhir kabarnya tarif untuk tiap ton carbon yang direduksi emisinya akan dihargai 1 euro.

Sekalipun ini baru pada tahapan ideal, tetapi jika itu diujudkan maka hasil Protokol Kyoto akan mengurangi pemanasan bumi sekitar 0,02 derajat celcius hingga 0,28 derajat celcius pada tahun 2020 (nature, oktober 2003)

Kembali pada konferensi akbar di Bali yang dihadiri hampir 200 negara ini, para Gubernur dan Ketua DPRD Provinsi juga diundang. Kabarnya akan ada satu resolusi yang menginginkan dibentuknya kaukus daerah. “Kaukus itu akan berjuang untuk kepentingan daerah dalam konstelasi pemanasan global ini. Indonesia juga perlu berpikir soal negerinya sendiri untuk jadi perhatian internasional. Kita tidak boleh hanya menjadi ‘penjaga hutan’ tetapi tidak dapat apa-apa dari perdagangan karbon sebagaimana diamanatkan Protokol Kyoto,” kata aktifis lingkungan hidup, Zukri Saad (Haluan, 25/11)

Pendapat Zukri patut menjadi bahan renungan daerah-daerah di Indonesia. Terutama daerah berhutan luas, selama ini hanya menerima beban menjaga hutan dengan anggaran yang menetes dari APBN.

Ada kecemasan para aktifis lingkungan yang menyebut bahwa konfrerensi Bali hanyalah ajang untuk perdagangan karbon. Bisa saja itu terjadi karena AS berkecenderungan untuk memilih membayar ‘daya serap emisi’ hutan-hutan tropis sementara AS enggan merehabilitasi semua industrinya yang mencetak emisi gas buang berbahaya. Dalam bahasa lain, AS akan mencoba mewarnai konferensi dengan isu berapa harga dan tarif yang akan disepakati untuk perdagangan karbon (atau lebih tepat disebut perdagangan emisi)

Namun kalau kita di daerah ikut bicara di konferensi ini, maka mestinya kita abaikan saja hal ini. Biarkan saja perdagangan emisi akan mewarnai konferensi. Yang terpenting adalah bagaimana daerah mengambil manfaat sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakatnya.

Soal menjaga hutan, itu adalah kewajiban yang harus jadi ‘jualan’ kita di daerah kepada pusat untuk memperbaiki posisi tawar.

Sebagaimana disampaikan oleh Gubernur Sumatra Barat Gamawan Fauzi belum lama ini (Haluan 25/11) daerah-daerah berhutan lebat selama ini hanya dikenakan kewajiban menjaga kelestarian hutan. Padahal hutan yang dilestarikan itu sangat penting bagi menjaga lingkungan nasional, provinsi tetangga, negara tetangga dan seterusnya.

Jadi, mengutip pendapat Gamawan itu, dapat kita pertegas lagi bahwa seperti juga minyak bumi dan gas yang memberikan manfaat pada ekonomi nasional, hutan yang dijaga kelestariannya juga memberi manfaat kepada ekonomi nasional. Kalau migas hanya bermanfaat untuk ekonomi nasional saja, maka kelestarian hutan memberi manfaat secara ekonomis kepada seluruh dunia. Ia bisa jadi paru-paru dunia, mereduksi gas buang yang dihasilkan negara-negara industri.

Dalam tataran ideal, memang akan ada kompensasi untuk negara-negara berhutan tropis atas ‘jasanya’ menjaga hutan. Tetapi dalam konstelasi internal Indonesia (pusat dan daerah) selama ini perhatian bersama pada kelestarian hutan masih perhatian struktural.

Seharusnya kita sudah bicara kompensasi juga, seperti bicara minyak dan gas menurut aturan pembagian pendapatan nasional. Daerah berhutan lebat seperti Kalimantan dan Sumatra atau Papua, mestinya menerima DAU ekstra atas peranan dan fungsinya menjaga kelestarian nasional.

Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism –CDM) memang belum terealisasi sebagaimana amanat Protokol Kyoto untuk perdagangan karbon. Namun dalam hitung-hitungan, potensi hutan Indonesia menurut Kantor Meneg LH bisa menghasilkan sekitar 175 juta ton carbon. Jika dihargai 2 Dolar AS maka akan ada akan ada 350 Juta Dolar AS masuk ke kocek negara.

Besaran angka-angka ini menurut Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman tak bisa datang begitu saja tanpa ada kontribusi daerah-daerah yang memiliki hutan.

Karena itu bicara atas nama daerah, Irman memang menghendaki agar perhatian pada daerah-daerah penghasil carbon kelak jadi pertimbangan adalam pengalokasian DAU (Dana Alokasi Umum)

Menurut Irman, terlepas dari isu protokol Kyoto, mestinya pembagian DAU (Dana Alokasi Umum) untuk daerah-daerah juga dipertimbangkan insentif bagi daerah-daerah berhutan luas. “Hutan yang fungsinya menjaga ke stabilan ekosistem bahkan bertali-temali sampai ke daerah-daerah tetangga yang tidak berhutan. Ambil contoh Sumbar. Kalau orang Sumbar menjaga hutannya, itu berarti juga menjaga daerahnya dan menjaga daerah tetangganya. Sumber-sumber air berada di daerah berhutan. Airnya diambil daerah yang letaknya kerendahan. Dari hutan yang diijaga Sumbar juga berakibat tertolongnya pengurangan emisi gas buang di daerah lain. Pertanyaannya sekarang dari fungsi yang dijalankan Sumbar itu, Sumbar dapat apa? Ini perlu dipikirkan oleh semua pihak,” ujar Irman (Haluan 25/11)

Suara-suara yang menghendaki pemberian perhatian lebih pada daerah berhutan luas oleh pemerintah pusat, tentu saja hendaknya juga berlaku di negara-negara pemilik hutan tropis luas di Amerika Latin atau Afrika. Direalisasikan atau tidaknya perdagangan karbon, jika satu daerah sudah memperlihatkan tanda-tanda serius menjaga kelestarian hutannya, maka daerah itu harus dapat perhatian lebih. Atau dalam bahasa yang lebih sederhana: ‘capek-capek jagain hutan, gue dapat apa?

Maka teruslah menjaga hutan untuk anak cucu dan manusia sejagad, tetapi teruslah berjuang agar para penjaga kelestariannya mendapat insentif yang juga layak. Terserahlah mau jualan carbon atau tidak yang penting hutan tetap lestari.***

Oktober 10, 2008 - Posted by | Lingkungan Hidup

5 Komentar »

  1. Memang Pemda Sumbar sangat berminat dalam hal mendapatkan hasil dari perdagangan Carbon ini,yang sudah barang tentu sangat bermanfaat bagi masyarakat kita,dan para Bapak dan ibu kita di DPRD juga sangat mendukung,kebetulan saya juga orang Padang dan bermukim di Australia selama 15 tahun dan saat ini sebagai Consultant dari Carbon Strategic,
    perusahaan yang ber kantor pusat di Sydney.

    Hanya saja secara nasional masih belum ada peraturannya,dan kami telah buat usulan Agreement dgn Pemda Sumbar dan Bapak Gubernur sudah membuat surat kepada Bapak Medagri
    masih kami tunggu jawaban beliau,secepatnya ini direalisasikan maka cepat pula dapat dinikmati karena kalau hutan kita di Sumbar masih 1.6 juta HA,masih punya potensi
    untuk mendapatkan lebih Rp 1 trilliun per tahun selama 20 tahun.

    Yang sudah mengerjakan kerja sama dengan pihak kami adalah
    1 Prop Papua Barat 2 Sulut 3 Sulsel,4 Lampung diharapakan dalam waktu dekat penanda tanganan dengan Prop SUMUT dan Sulawesi Tengah.

    Semoga dapat KITA SAMA nikmati,jangan hanya negara lain mendapatkan nya cuma2
    STEFANO FAN.MBA
    Consultant
    CARBON STRATEGIC

    Komentar oleh Stefano Fan.MBA | September 19, 2009 | Balas

    • Maaf, saya baru buka blog saya. terimakasih informasinya, kayaknya ini kabar baik untuk Sumatera Barat, jika tak keberatan boleh saya wawancarai soal carbon trade ini untuk dimuat di media saya? (www.padangmedia.com), salam untuk semua

      Komentar oleh ekopadang | Desember 4, 2009 | Balas

  2. Ya Pak saya senang sekali dengan wawancara,masaalah soal carbon trade ini

    Wass

    Komentar oleh stefano Fan | Februari 12, 2010 | Balas

  3. Pak Edo YTH,

    Tata Cara Pengurangan emisi diatur dengan Kepmen P30/Menhut II./2009,dimana entity nasional dapat bekerja sama dengan entity internasional.Entity internasional adalah Pemerintah,badan usaha,Yayasan atau perorangan. Dan entity nasional adalah para Kepala KPH,pemegang Hak,seperti hutan masyarakat,adat.HPH ,Hutan Tanaman dll,

    Kusus buat prov Sumbar,telah ada SK Menteri Kehutanan untuk 9 KPH,hanya menunggu personelnya.Maka perjanjian akan dapat dilaksanakan.Dan saya sudah bicara dengan Bapak kepala Dinas Kehutanan Prov Sumbar Bapak Hendri Octavia.

    Sedangkan untuk Perizinan Tata Cara Penyimpanan Karbon dan Penyerapan Karbon diatur dengan Kepmen36/menhut II/2009

    Jadi sudah ada banyak kemajuan,dan di Indonesia sudah 10 provinsi yang sudah mempunyaikeputusan KPH KPH,dan ada 10 KPHK,buatTaman Nasional dan beberapa KPH Model yang di launching oleh Bapak Menteri di Bali pada tanggal 14 december 2009.sejalan dengan kebijakan pemerimntah dalam hal pengurangan Emisi.dan semoga sekalian dapat manfaat keuangan yg dapat dinikmanti masyarakat.

    Hormat saya
    STEFANO FAN.MBA
    Consultant
    Carbon Strategic

    Komentar oleh stefano Fan | Februari 14, 2010 | Balas

  4. Pak Eko, perkenalkan saya Haris dari Majalah GATRA, Jakarta. Bisakah saya minta nomor kontak bapak Stefano Fan, Konsultan Carbon Global Strategic, perusahaan perdagangan karbon itu? Saya butuh wawancara dengan beliau.

    Terima kasih.

    Komentar oleh haris | Agustus 17, 2010 | Balas


Tinggalkan komentar