WARTAWAN PADANG

Hal ihwal tentang Sumatra Barat

Kado HJK ke 219 Padang Panjang


Sebenarnya berapa pun usia sebuah kota tidaklah menjadi persoalan benar bagi pengembangan kota itu ke masa depan. Hakikat usia itu hanya pada persoalan tua atau muda saja, selebihnya memang tiada mempengaruhi bagi perilaku warga kota.

Coba saja membandingkan perbedaannya, ketika kota ini diulangtahunkan dengan tanggal lahir 23 Maret  1956 atau dengan tanggal lahir 1 Desember 1790. Apanya yang terasa berbeda? Atau paling tidak tanyakan kepada rakyat Padang Panjang, apa sih bedanya?

Saya teringat dengan budayawan besar Padang Panjang, almarhum Bustanul Arifin Adam. Tidak banyak lagi orang seperti Uwan Tanul –begitu dia disapa—yang suka mencatat hal-hal remeh di masa lalu tapi berguna di masa depan.

Uwan Tanul dalam banyak kesempatan berdiskusi dengan kaum muda senantiasa mengatakan bahwa orang Padang Panjang itu sangat romantis. Romantisme Padang Panjang itu terbawa-bawa sampai ke sikap dan prilaku berbagai elemen pembangunan kota.

Sebagai anak muda (waktu itu) saya sering memprotes hal yang dikatakan Uwan Tanul. Menurut saya, mengenang kejayaan masa lalu yang merupakan pengejawantahan dari sikap romantisme tersebut tiada salah. Bahkan satu hari Uwan Tanul itu sampai ‘berang’ kepada saya tatkala saya beri contoh mengenang seorang ulama pendekar yang serba komplit bernama Adam Balai-Balai atau Adam BB. “Jan ang baok-baok lo namo Nyiak Adam tu lai,” katanya. Tapi kemudian dengan tenang Uwan Tanul menepuk bahu saya sambil berkata: “Romantisme tidak membuat orang larut dengan kejayaan masa lalu, kalau Inyiak Adam yang akan jadi contoh, bisakah kita lihat pada waktu bersamaan MIN yang didirikan beliau sakarang dan di masa yang akan datang terus menimba sukses?”

Lama-lama saya inap menungkan kata-kata pemain biola yang menyukai lagu klasik dari Ludwig Beethohen berjudul :”Fur Elise” itu (saya pernah dikritik beliau ketika lagu yang pernah bertahun-tahun menjadi backsound sebuah acara di Radio Bahana, saya salah menyebutkan penciptanya. Sempat saya bilang penciptanya adalah Mozart, tapi ternyata Uwan Tanul benar, bahwa penciptanya adalah Beethoven. thaks Uwan)

Dengan perhatian seorang Uwan Tanul terhadap masa lalu (salah satunya kisah lagu Ful Elise tadi) saya akhirnya menyadari bahwa mengenang kejayaan masa silam, tidak boleh membuat kita larut.

Ada berjilid-jilid buku yang bisa ditulis kalau hendak menceritakan kejayaan sebuah Serambi Mekah bernama Padang Panjang. Tak ada yang tak mengakui kejayaan itu, sampai-sampai kejayaan itu harus masuk dalam cerita fiksi Hamka “Tenggelamnja Kapal Vanderwijk”. Zainuddin, tokoh dalam cerita roman paling heboh di masanya itu tetap menempatkan Padang Panjang sebagai kota tujuan mencapai kegemilangan masa depan. Ia jauh-jauh berlayar dari Mengkasar (begitu Hamka menuliskan Makassar dalam buku tersebut) menuju lembah Merapi Singgalang. Tempat kererta api saling bertemu dari tiga jurusan. Tempat berbagai hasil bumi dikirim ke berbagai pelosok. Tempat barang-barang impor masuk. Tempat kebudayaan modern berkembang bersamaan dengan basis Islam yang kental. Tempat berbagai lembaga pendidikan tinggi berada. Ia menuntut ilmu di sana.

Bahwa ada hal-hal besar, agung, gemerlap dan sukses serta jaya di masa seratus tahun yang silam di Padang Panjang, marilah sama-sama kita pahami saja. Sebagian dari kejayaan itu, misalnya pusat pendidikan berbasis Islam. Hingga sekarang masih tetap belum tergoyahkan. Masih ada banyak pesantren yang didatangi berbagai santri seluruh pelosok.

Banyak pendapat berkembang dalam berbagai diskusi bahwa Padang Panjang sudah mulai kehilangan kejayaan masa lalunya. Berbagai hal yang dibuat oleh pemerintah kota dianggap seakan tidak bisa juga mengembalikan kejayaan masa lalu. Segala hal seolah akan diajak kembali ke masa lalu. Mana mungkin?

Kata orang bijak, tiap generasi punya sejarahnya sendiri. Di masa silam mungkin yang cocok adalah pemimpin yang suka ke lepau, bersalung atau berburu babi. Tapi dengan tantangan yang berbeda, pemimpin sekarang tak mungkin lagi seperti masa lalu. Problema yang dihadapi berbeda.

Oleh karena itu, tidak relevan lagi membanding-banding masa sekarang dengan masa lalu, pemimpin yang sekarang dengan pemimpin masa lalu. Mengutip kata-kata mantan Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi (kini Mendagri) : “Berhentilah kita terpaku pada cara berpikir ‘yerterday logic’. Masa depan ada di depan, bukan di belakang” Gamawan sering gelisah ketika orang nyinyir benar mengatakan, di masa lalu begini, sekarang kok tidak? Di masa lalu hebat, sekarang kok tidak?

Apakah itu berarti menghapus dari memori kita semua rekaman masa silam Padang panjang? Ooo, tidak. Masa silam yang gemilang mestinya jadi enlightening (pencerah) dan  elan (penyemangat) untuk Padang Panjang berpacu menuju masa depan yang lebih baik dan unggul.

Kota yang sejuk ini tidak boleh hanya mengusung-usung piala dan piagam demi piagam. Buat apa gelar Adipura kalau hari-hari diluar tim penilai datang justru kota ini bersilemak? Buat apa gagah-gagahan mengusung Wahana Tata kalau fakta sebenarnya perlalulintasan kita tidak tertata baik? Apakah yang kita buru cap, stigma atau simbolistik belaka?

Okelah, semua kita sekarang sudah sepakat bahwa hari ini Padang Panjang sudah berusia 219 tahun. Sudah tua itu Engku!

Apa yang sudah dibuat oleh pemerintah kota hari ini memang tidak boleh kita nafikan begitu saja sebagai suatu upaya pemerintahan yang sekarang. Bahwa ada banyak prestasi (dibuktikan dengan piala dan piagam) semua sudah tahu. Sudah ditulis dikoran-koran. Bahkan tiap sebentar dipasang iklannya. Lengkap dengan puja-puji.

Tapi ke depan, tentu ini belum memuaskan. Apalagi kalau ujung-ujungnya harus kita beri pertanyaan: “Seberapa jauh penduduknya bisa sejahtera dengan segala aktifitas pembangunan saat ini?”

Masa kepimpinan Suir Syam-Edwin masih akan ada empat tahun lagi. Masih ada waktu untuk membuat kerangka-kerangka landasan bagi Walikota berikutnya melahirkan Visi Padang Panjang 2030. Hal-hal yang strategis tentu sudah ada dalam RPJM (yang diimplementasikan dari visi-misi Cawako-cawawako saat Prapilkada lalu) tetapi membuat terobosan untuk merumuskan kota macam apa Padang Panjang pada 2030 nanti, justru sudah jadi tuntutan yang semestinya.

Tahun 2030 nanti, kita yang membaca sekarang ini belum tentu masih hidup. Namun menyiapkan masa depan yang lebih baik bagi anak cucu adalah utang kita, kalau kita tak mau disumpahi oleh anak cucu kelak karena tidak membuatkan peta jalan (road map) bagi mereka.

Senator Irman Gusman (kini Ketua DPD RI) yang masih memiliki hubungan emosional dengan Padang Panjang pernah menawarkan kepada Pemerintah Kota untuk mulai memetakan potensi sebenarnya dari Padang Panjang dan mulai menyusun visi 2030. Itu dia ucapkan lima tahun silam di gedung Mohammad Sjafei. Ia khawatir secara ekonomis Padang Panjang akan tertinggal dari kota-kota lain.

Pada visi Walikota Suir Syam sebagai landasan filosofis kerjanya hingga lima tahun ke depan sudah dimaktubkan dengan jelas kea rah mana kota ini lima tahun ini dia bawa. Yakni mewujudkan masyarakat Padang Panjang yang tumbuh pendidikannya, ekonominya, meningkat derajat kesehatannya, membentuk pemerintahan yang bersih yang bernuasa Islami. Semua untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.

Jika kita menuntut Walikota dan Wakil Walikota untuk tetap berada pada track benar, maka tak boleh ada tuntutan yang melebihi apa yang sudah dinyatakannya kepada public sebagai visi-misinya. Biarkan pasangan ini bekerja menurut apa yang sudah dia janjikan kepada kita.

Yang tadi, Visi Padang Panjang 2030? Itu akan menjadi ujian juga apakah pasangan Suir Syam dan Edwin adalah pasangan yang visioner, sehingga pada pertengahan masa jabatannya nanti atau tahun depan, visi Padang Panjang 2030 itu sudah mulai disusun. Itu perlu meramu banyak pikiran dari berbagai kalangan. Kita tunggu saja. Selamat Ulang Tahun Padang Panjang! (Eko Yanche Edrie/www.padangmedia.com)

Desember 3, 2009 - Posted by | pemerintahan, sejarah

3 Komentar »

  1. Semoga tambah baik aja…

    Komentar oleh dan | Desember 4, 2009 | Balas


Tinggalkan komentar