WARTAWAN PADANG

Hal ihwal tentang Sumatra Barat

Di Laut kita Harus Jaya


NENEK moyangku bangsa pelaut!Syahdan, sejak lama slogan itu dicekoki ke setiap anak di negeri ini. Tujuannya tiada lain kecuali untuk menerangkan kepada setiap generasi bahwa pada masa lalu, bangsa ini termasyhur amat jaya di laut. Hingga motto TNI Angkatan Laut pun berbunyi ‘Jalesveva Jayamahe’ yang berarti ‘Di Laut Kita Jaya’.Fakta memang menunjukkan bahwa lebih separuh wilayah Indonesia adalah lautan. Ini pula agaknya yang membuat kita senantiasa memposisikan diri sebagai bangsa bahari. Laut adalah bagian dari kehidupan Indonesia. Laut dieksploitasi sedemikian rupa untuk keperluan perekonomian. Nelayan adalah bagian yang tak terpisahkan dari fakta ini. Tetapi nelayan mana yang di republik ini yang dapat kita katakan sebagai kelompok yang memberikan kontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi? Bukankah nelayan senantiasa ditempatkan pada sudut yang perlu pertolongan, perlu Bantuan Langsung Tunai, perlu masuk pada program pengentasan kemiskinan dan (kadang-kadang) perlu dimarginalkan untuk sesuatu keperluan pembangunan? Merekapun digusur dari pemukimannya.Tiap kali perbincangan mengenai sektor-sektor yang dapat mendongkrak laju pertumbuhan ekonomi, maka perikanan terutama perikanan laut tidak pernah dilupakan sebagai yang dianggap pemberi kontribusi besar.Tapi nelayan yang manakah yang pantas dianggap sebagai pahlawan devisa atau pahlawan pertumbuhan ekonomi? Sebaliknya nelayan makin terpuruk saja ke garis paling bawah dalam daftar kemiskinan rakyat.Ada sejumlah indikator yang sudah dipakai oleh Departemen Kelautan dan Perikanan untuk menentukan kemiskinan nelayan. Apa yang disebut dengan indikator Perubahan Pendapatan Nelayan (PPN) serta indikator Nilai Tukar Nelayan (NTN) menunjukkan kepada kita bahwa itu baru dalam tahap mencari sebab musabab kemiskinan nelayan. Antara lain penyebabnya adalah sekitar tidak dikuasainya teknologi kebaharian (kapal dan alat tangkap), inefisiensi produksi, skala usaha yang masih kecil serta posisi kenelayanan para nelayan lebih banyak sebagai pekerja, bukan full nelayan.Akibatnya dari hari ke hari, yang kita dengar adalah keluhan demi keluhan para nelayan. Kesejahteraan nelayan yang kini sedang kita perbincangkan ternyata tak cukup hanya Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) saja yang harus jadi sasaran tembak. Rebitalisasi perikanan dan keluatan demi kesejahteraan nelayan harus dipandang sebagai pekerjaan lintas sektoral dan interdept. Departemen Kesehatan, Pendidikan, Perdagangan, Koperasi, Industri, Perhubungan maupun Perindustrian sebenarnya harus terlibat kuat dalamnya. Masalahnya, kesejahteraan nelayan tak sekedar menggenjot kemampuan tangkap saja. Tetapi lebih jauh dari itu, memasuki wilayah pendidikan, kesehatan, perdagangan, industri, ketenagakerjaan dan seterusnya.Data BPS terakhir menunjukkan bahwa 60 persen masyarakat miskin Indonesia adalah masyarakat yang hidup di kawasan pesisir pantai. Perang melawan kemiskinan terhadap nelayan itu sudah dimulai oleh sejumlah LSM maupun pemerintah sendiri. Tetapi tetap saja belum menunjukkan perubahan yang menggembirakan.Perang melawan kemiskinan lebih banyak dilakukan sendiri oleh para nelayan. Tak hanya dengan kemiskinan itu sendiri, juga dengan sesama nelayan baik lokal maupun asing saat harus berebut lahan di tengah laut.Perseteruan antarnelayan berebut lahan makin meneguhkan keprihatinan kita betapa pada saat nelayan harus mampu mengatasi kemiskinannya, persatuan diantara merekapun jadi tercerai berai. Kawasan-kawasan yang masuk dalam ZEE mulai jadi tak imbang potensi perikanannya dengan jumlah nelayan yang ada. Maka sempurnalah keprihatinan kita manakala kita lihat di berbagai dermaga, kapal-kapal nelayan banyak yang nongkrong karena tidak bisa melaut lantaran ketiadaan modal.Hingga saat ini, proteksi yang diharapkan dari pemerintah terhadap kawasan-kawasan perairan lokal belum kunjung jua ada. Maka menjadi-jadilah illegal fishing oleh nelayan asing yang menjarah ke perairan Indonesia. Nelayan kecil kita hanya bisa menonton di kejauhan lantaran kekurangan daya untuk berlaku imbang dengan nelayan-nelayan asing itu. Kabar terbaru tentang tak terlindunginya secara utuh nelayan kita adalah saat Australia menangkapi sejumlah nelayan perbatasan Indonesia. Kita pun terpurangah setelah mereka ditangkapi. Kembali ke soal kondisi keseharian para nelayan kita. Hampir rata-rata mereka adalah nelayan tradisional yang melaut sore lalu pulang pagi untuk mendapatkan rezeki ala kadarnya.Di perairan Sumatra Barat misalnya, kini terdapat ribuan kapal nelayan yang harus nongkrong di berbagai dermaga lantaran tidak bisa melaut. Mereka tak melaut karena ketiadaan modal untuk berlayar. Harga BBM yang dinaikkan memukul mereka, belum lagi kebutuhan selama operasi dan harga pasar yang tidak dikuasai oleh mereka melainkan oleh para tengkulak.Pengijonan menjadi-jadi. Seorang nelayan diberi pinjaman oleh seorang induk semang. Lalu ia melaut, saat pulang dan membawa ikan mereka harus segera mengganti pinjaman berikut bunganya. Walhasil, jangankan untuk bisa saving, untuk kebutuhan harian saja bagi keluarganya harus berutang lagi.Ada analogi yang diceritakan oleh seorang nelayan di pantai Bungus. Dulu ketika masih belum tinggi persaingan dan tekanan kemiskinan, seorang istri nelayan bisa mengupahkan cucian pakaiannya kepada tukang cuci dan tukang cuci pun bisa mendapat makan. Sekarang, seorang istri nelayan harus menerima upah cucian agar bisa makan. Ini sungguh ironis.Kita ambil contoh seorang nelayan ‘kelas menengah ‘yang memiliki sebuah kapal tonda. Lalu ia mempekerjakan lima nelayan tradisional. Menjelang berangkat pemilik kapal harus menyediakan biaya Rp7 juta. Dengan asumsi produksi normal, maka pulangnya mereka membawa lebih kurang 1,5 ton ikan. Ikan itu (dengan harga saat ini) dijual Rp8.000/kg, maka pendapatan kotor menjadi Rp12 juta. Dikurangi biaya retribusi, pendaratan dan sebagainya sekitar Rp2 juta maka tinggal Rp10 juta. Lima nelayan tradisional yang sekaligus menjadi ABK Rp1.200.000. atau masing-masing Rp240 ribu. Dari data-data itu sepintas terlihat bahwa nelayan cukup layak hidupnya. Baik yang jadi ABK apalagi yang jadi pemilik kapal.Tetapi jika dibanding dengan potensi yang seharusnya bisa dihasil, maka jumlah itu teramat sedikit dan tidak berarti apa-apa. Buktinya sekarang banyak kapal yang menganggur. Dan keluarga nelayan terus saja didera penderitaan. Mereka tak bisa menyekolahkan anaknya ke sekolah yang lebih baik, tidak mendapat sarana dan prasarana publik memadai, rumah yang amat sederhana dan bahkan banyak yang mengajukan surat miskin untuk berobat ke rumah sakit manakala ada keluarga yang sakit.Di laut, ancaman kehidupan dan keberlanjutan nasib nelayan juga diganggu oleh faktor-faktor budidaya sumber kelautan yang kian merosot. Nyatanya produksi perikanan dunia terus merosot.Tak bisa kita sangkal pendapat Pauly (2002) bahwa perikanan laut adalah kegiatan pengejaran dan perburuan terhadap isi laut. Sejatinya, ini adalah bagian dari pekerjaan yang berkesudahan dengan pemusnahan, kalau tidak diiringi dengan kegiatan budidaya.Jika perburuan hewan di hutan hanya dilakukan dengan sistem yang sangat konvensional, maka perburuan ikan justru sudah dilakukan secara mekanis dan dalam kerangka industri. Dapat dibayangkan adanya ancaman nyata terhadap cadangan sumber daya perikanan di laut dunia saat ini. Dan tolong dicatat, dari situ nasib nelayan bergantung.Kerakusan raksasa perikanan dunia telah membikin nelayan tradisional semakin terlantar saja. Ini jelas tidak bisa dibuarkan terus menerus hingga ada regulasi yang ketat bagi eksploitasi sumber daya laut demi kehidupan yang bekelanjutan terutama nasib nelayan. 

Revitalisasi Perikanan 

Dari gambaran di atas dapat ditarik benang merah bahwa kondisi perikanan kita (di dalamnya tercakup nasib nelayan) sungguh memprihatinkan. Adanya kesenjangan penguasaan teknologi alat tangkap antara nelayan tradisional dengan nelayan-nelayan modern membuat kehidupan nelayan tradisonal makin nelangsa.Kondisi ini diperparah dengan tiadanya proteksi yang cukup kuat melindungi kehidupan nelayan tradional oleh pemerintah baik nasional maupun daerah. Pemberdayaan nelayan secara ekonomi maupun secara teknologi belum berjalan maksimal, hingga gerak perubahan nasib nelayan dari berada di bawah garis kemiskinan menuju kehidupan yang lebih layak belum jua kesampaian.Maka tiada jalan lain sebenarnya kecuali melakukan revitalisasi perikanan untuk kesejahteraan nelayan. Bentuk-bentuknya adalah dengan memberi stimulan-stimulan kepada kehidupan nelayan secara komprehensif. Selama ini program-program yang sarat anggaran dibagikan secara merata saja, akibatnya daya dorongnya bagi kebangkitan nelayan yang lain tidak terasa benar. Padahal lebih baik di pusatkan di kawasan-kawasan yang akan jadi percontohan. Misalnya kalau Dinas Perikanan Sumatra Barat menerbar mesin Long Tail sebanyak 1000 unit akan lebih bermanfaat kalau dijadikan sebuah kapal yang satu kelompok nelayan bergabung mengoperasikannya. Atau dana itu ditebar menjadi rumpon-rumpon yang dapat membantu para nelayan ‘menghimpun’ ikan-ikan di perairan tertentu.Langkah yang diambil oleh sejumlah tokoh LSM dan pengusaha di Sumatra Barat  membentuk Koperasi Jaya Samudra belum lama ini adalah langkah yang mestinya jadi perhatian pemerintah.Koperasi Jaya Samudra mengamati bahwa kesengsaraan nelayan Sumbar sudah saatnya diakhiri dengan cara yang lebih progresif. Para pentolan koperasi itu menganggap yang perlu dapat perhatian adalah peningkatan alat tangkap nelayan secara teknis dan pembukaan akses nelayan ke pasar yang lebih baik.Maka gagasan utama koperasi ini adalah melakukan modifikasi kapal tonda menjadi mini long liner. Apa harapan yang tersirat di balik itu? Bahwa selama ini kapal tonda yang jumlahnya ribuan tak bisa melaut, penghasilannya hanya cukup untuk makan.Ada beberapa masalah yang menjadi perintang, pertama jumlah tangkapan yang tak bernilai ekspor, kedua teknologinya yang amat minim, ketiga areal tangkapan yang terbatas.Selama ini kapal tonda hanya berhasil menangkap ikan-ikan yang tak bernilai ekspor. Tuna misalnya, hanya terjaring satu dua saja. Dengan modifikasi menjadi long liner  maka kapal itu mulai menebar ribuan mata pancing. Ingat, pasar ekspor tuna dunia tidak akan menerima tuna-tuna yang mati dalam jaring. Bahkan selembar sisiknya saja tanggal, maka tuna tersebut pastilah akan masuk ketegori reject alias tak bisa masuk pasar ekspor. Pengetahuan seperti itu juga akan ditularkan oleh para fishing master eks Jepang yang sengaja direkrut oleh Koperasi ini dalam menjalankan operasi penangkapan ikannya.Jika selama ini nelayan hanya mampu menangkap uikan berkelas Rp8000/kg, dengan menangkap tuna mereka bisa menjual sampai Rp34 ribu/kg.Untuk kawasan Sumatra Barat, ada ceruk besar antara pantai barat Sumbar dengan pantai Mentawai. Selama ini dalam pengertian otonomi daerah, maka kawasan di luar 4 mil dari bibir pantai Kabupaten Kota, tidak bisa ‘dipegang’ alias menjadi zona bebas. Maka oleh Koperasi Jaya Samudra akan didesakkan kepada Pemprov Sumbar agar membuat proteksi terhadap ceruk itu demi kesejahteraan nelayan lokal. Sebab logikanya, jarak antara pantai Padang dengan pantai Mentawai harus masuk wilayah Sumatra Barat. Kawasan bebas baru akan ada di lepas pantai Mentawai sebelah Barat.Kondisi perairan yang diapit pulau-pulau ini membuat ada arus-arus laut yang mampu menahan tuna tetap bertahan di perairan tersebut. Ini adalah ceruk berharga, karena itu perlu dilindungi oleh Pemprov Sumbar uintuk keperluan nelayan lokal. Artinya jika ada peraturan gubernur atau peraturan daerah yang dapat menyatakan kawasan itu sebagai kawasan tertutup Koperasi juga akan memfasilitasi para nelayan dengan pemilik kapal, agar aturan selama ini diperbarui. Selama ini nelayan tradisional hanya sebatas jadi pekerja pada kapal milik tauke. Dengan proyek ini, koperasi membuatkan hubungan kerjasama bagi hasil antara nelayan merangkap ABK dengan pemilik kapal.Jika semua ini dilakukan, maka cita-cita memperbaiki nasib nelayan kita akan dapat diujudkan. Intinya, program pemberdayaan nelayan yang jadi core program Departemen Kelautan dan Perikanan maupun Dinas Kelautan dan Perikanan di daerah adalah langsung ke pokok persoalan. Setelah itu baru pada hal-hal yang berkaitan dengan lintas sektoral. Misalnya, urusan pendidikan,  kesehatan, perdagangan dan sebagainya.Selama urusan pemberdayaan nelayan masih diletakkan (hanya) di pundak DKP, maka selama itu pula urusan kita hanya berputar-putar di situ. Tak kunjung selesai. Nelayanpun kian jauh terperosok ke jurang kesengsaraannya. Seribu long liner, seribu long tail yang ditebar, tak berarti jika tak diiringi oleh perhatian dari sektor lain. Toh pada akhirnya tujuan akhirnya adalah long life (kehidupan yang panjang) bagi bara nelayan. Di laut kita harus jaya! (eko yanche edrie)

Oktober 15, 2006 - Posted by | kelautan

3 Komentar »

  1. sampai saat ini dkp belum bisa optimal dalam usahanya untuk mensejahterakan nelayan. banyaknya dana yang dikucurkan oleh pemerintah dalam program pembangunan seringkali dikorupsi. terlihat dari meratanya kasus korupsi oleh departemen kelautan di semua daerah, baik oleh mantan Dirjen DKP Rohomin Dahuri ataupun beberapa kepala dinas di masing-msing daerah di Indonesia. melihat betapa banyaknya uang yang dikorupsi membuat kita prihatin karena disisi lain kehidupan nelayan terutama saat ini terancam tidak bisa melakukan aktifitas melautnya karena kemiskinan yang menimpa mereka. disamping masalah kemiskinan (poverty) masalah lain yang mengancam kehidupan nelayan adalah kelangkaan (scaarcity). jika melihat tulisan yang dikemukakan oleh saudara Eko di atas, hasil laut kita masih banyak yang belum didayagunakan dengan optimal memang benar, akan tetapi kenyataanya nelayan tidak mampu menjangkaunya. sehingga mereka hanya bisa menangkap ikan dalam area yang sangat terbatas. hal ini terjadi karena minimnya teknologi yang dimiliki oleh nelayan. dengan kondisi demikian sudahkah dkp menanggapinya, dan bagaimana strategi yang akan digunakan untuk mengatasi masalah tersebut, jika dana yang telah dianggarkan terus saja dikorup?

    Komentar oleh novianti | September 27, 2007 | Balas

  2. Setuju, Dilaut kita harus berjaya

    Komentar oleh rahmat | Juli 22, 2008 | Balas

  3. Thanks Novianti dan Rahmat atas komentarnya

    Komentar oleh ekopadang | Juli 31, 2008 | Balas


Tinggalkan Balasan ke rahmat Batalkan balasan